Semua foto dan gambar yg ada di halaman blog ini dicolong dari arsip temen2 sendiri dan sumber2 yg nggak dikenal. Yang ngerasa punya hak cipta untuk itu, silahkan hubungi saya. Tuntutan kalian akan langsung masuk WC.

Minggu, 03 Mei 2009

UNTUK APA KITA BERANAK?

Mungkin pertanyaan ini hampir mirip dengan menanyakan kenapa cacing tanah beranak, ikan paus beranak atau monyet beranak? Intinya, kenapa semua makhluk hidup di muka bumi ini secara natural melakukan aktivitas reproduksi untuk menghasilkan individu baru dari jenisnya?

Karena kita semua, yang sedang hidup ini adalah makhluk yang transien, alias sementara. Suatu saat pasti mati juga. Dan oleh karenanya, sangat penting bagi tiap spesies untuk melestarikan jenisnya dengan beranak pinak sehingga gennya tetap conserved dalam suatu populasi. Pada hewan, aktivitas beranak pinak ini sifatnya instingtif. Bagi mereka, beranak dan mengurus anak (baca: memberi makan) bukan hanya untuk kesejahteraan si anak saja, namun secara tidak langsung dia telah melestarikan hidupnya sendiri (baca: pewarisan genetik). Pada manusia, yang masih berkerabat dekat dengan hewan mamalia (terutama primata), mewariskan setengah gennya pada anaknya bersifat instingtif pula. Tidak heran manusia pontang panting untuk menafkahi dan memberi makan anaknya. Empati manusia terhadap saudaranya sendiri juga lebih besar dibandingkan pada orang lain yang tidak berbagi gen. Jadi, beranak itu sangat natural, dan tidak ada yang boleh menolak fakta ini.

Hanya saja, kita ini bisa dibilang makhluk yang sangat kompleks. Kita ini makhluk dengan otak yang telah berkembang secara luar biasa dan memiliki serebral korteks (baca: otak kanan dan otak kiri) yang notabene paling advanced dibanding makhluk manapun. Ini menjadikan kita makhluk paling pintar di muka bumi, paling berkuasa dan sanggup membangun peradaban yang berumur ratusan bahkan ribuan tahun. Kita boleh saja 98% monyet, tapi 2% sisanya inilah yang menjadikan kita manusia adalah manusia, dan monyet adalah monyet. Alam bekerja dengan akurasi dan presisi yang luar biasa bukan?

Kecerdasan yang kita miliki (tidak hanya intelegensi, tapi juga emosi) inilah yang membuat kita tidak hanya memiliki empati tapi juga bisa menjadi tamak dan tidak pernah puas. Kecerdasan ini pula yang membuat kita jadi jago membentuk konstruksi sosial yang (niat mulianya sih) diharapkan dapat membuat kita lebih settle dan safe, tapi kadang malah merepotkan (dan dipaksa deal with it pula!). Kita ini kan gemar berpikir. Dan kegemaran berpikir ini akan mengantarkan kita pada pilihan-pilihan, termasuk pilihan untuk mengikuti atau mendobrak aturan yang sudah ada (itu juga kalau cukup bernyali). Beginilah manusia, unik memang.

Soal beranak ini pun, kita juga jadi punya pilihan, memutuskan punya anak atau tidak, dengan berbagai pertimbangan yang merujuk pada kecerdasan berpikir tadi (tentunya kita melulu menanyakan esensi, esensi dan esensi). Kalau mau beranak juga jalan yang mesti dilalui tidaklah pendek. Kita meski menikah dulu, ini yang merepotkan dan melibatkan banyak aspek, serta menguras tenaga dan seringnya bikin makan hati. Berikutnya harus mengurus segala tetek bengek lainnya. Kalau sudah, bikinlah anak. Kalau sudah jadi, kita urus lagi tetek bengek si anak dan menentukan identitasnya.
Kalau tidak sudi melakukan serentetan kegiatan di atas juga tidak apa-apa selama kamu siap dianggap melakukan modus patologi sosial (siapa kamu berani-beraninya bilang saya patogen???) dan kesulitan mengakses banyak hal, termasuk kegamangan si anak akan identitasnya. Tentu saja hal yang paling kita takuti adalah tidak memiliki identitas. Begini juga malah lebih merepotkan. Apalagi hidup di sini dimana orang-orang memiliki sikap judgmental yang kental.

Oleh karenanya, untuk manusia modern, meninggalkan “oleh-oleh” pada dunia ini BERUPA pewarisan setengah genetik kita kepada individu baru yang kita sebut ANAK, tidak lagi penting. Mungkin kenyamanan hidup, selera dan pilihan lebih penting. Oleh karenanya sah-sah saja untuk tidak beranak. Dengan populasi yang mencapai milyaran dan terserak di (hampir) seluruh sudut bumi (coba kalian cari belahan bumi mana yang tidak ditinggali manusia?) manusia bisa dibilang mustahil punah. Brengseknya, makhluk bernama manusia ini punya kemampuan adaptasi di atas rata-rata. Kita sanggup hidup di tempat yang bersuhu di bawah nol derajat, di gurun pasir, di atas air, di gua, di gunung, di hutan, di kota seolah semuanya itu adalah rumah kita. Egois memang. Kita bahkan sanggup hidup dengan udara yg kotor, air yg kotor, makanan beracun dan kita mentoleransi semuanya itu. LUAR BIASA. Tapi adaptasi sendiri merupakan salah satu mekanisme dari proses yang (barangkali kamu pernah dengar) disebut seleksi alam. Nah, seleksi alam ini bekerja (tentu saja) sangat selektif. Hanya makhluk dengan tingkat adaptasi terbaik yang sanggup bertahan dari berbagai deraan akan hidup dengan suksesnya. Sebut ini survival of the fittest. Dan seperti biasa, kebaikan dan ketangguhan ini akan diturunkan melalui apa yang sudah saya sebut-sebut di awal tadi: GEN. Oh, betapa molekul egois itu telah mengendarai kita, manusia, si mesin besar ini.

Maka, perkara beranak untuk saya tidak lagi tentang insting semata, tapi ada keperluan pilihan di sana. Kalau ditanya saya pengen punya anak atau tidak, ya saya pengen (nanti tapi, tidak sekarang). Punya perut yang membesar dan dada yang membengkak barangkali akan membuat saya terlihat sexy. Dan memiliki seorang manusia yang merupakan bagian dari kita (dalam arti sesungguhnya) untuk disusui, diasuh, diberi nama, diberi makan, diajari, dinafkahi, dicintai, dicium setiap hari tampaknya seru. Mungkin dia akan tumbuh besar, hidup dan mati seperti ibunya, menjadi makhluk malang yang tidak pernah benar-benar merasakan udara yang segar, air bersih, sayuran tanpa pestisida, makanan tanpa pengawet. Semua serba artifisial (dan saya curiga barangkali hazardous things itu tadi yang membikin kita morally hazard). Tapi saya tidak khawatir, gen kita lebih pintar daripada agen-agen beracun tadi.

Alah, tapi mungkin karena sekarang saya sedang sentimentil saja. Ujung-ujungnya saya ribet juga karena buat saya menikah itu tetap saja merepotkan (meskipun akan lebih ribet lagi kalau tidak menikah) tapi saya mau juga memberi souvenir (baca: ANAK). Masalahnya, saya tidak betah menghabiskan waktu dengan lelaki yang itu-itu saja. Saya ini tidak berbakat urusan nikah-menikah (kalo kawin-kawinan boleh deh). Nah, ini gara-gara pilihan itu tadi. Sumbernya dari mana? Si serebral korteks tadi.

Kalau begitu jangan salahkan saya.

Salahkan serebral korteks.
Salahkan alam.

*Untuk kalian yang masih berkeinginan untuk membelah diri di bumi yang sudah penuh sesak ini. Ingat, kita tidak sekecil amoeba!*

7 komentar:

  1. Wohoooooooooooooo.... sodara! sptnya kau bkn hny ahli biologi tp seorg filsuf jg! hahaaaaa...

    BalasHapus
  2. huahahah gue senang baca postingan2 lo..

    keep on writing ok... never have to be the same..
    paham gue adalah sepakat untuk tidak sepakat. you and your idea, me with mine, and the they with theirs.. gak harus sepakat klo memang nggak sesuai hati.. walaupun menurut gue, dlm banyak hal, hati itu umunya tertutup logika, pengalaman, dan luka-luka batin.. sehingga sering jadi blur..

    bicara tentang anak.. ada film yang lagi2 gue lupa judulnya..
    filmnya gak banget tapi konsepnya bagus.

    itu tentang dunia yang makin penuh, dngan segala permasalahan seperti yang lo bilang..
    ada dua golongan orang.. yang satu pintar dan yang lain goblok..

    yang pintar ngerti banget nih permasalahan dunia yang makin sesak.. dan mereka memilih untuk nggak punya anak ato satu aja kali ya..
    nah yang bego2 ini mana peduli.. bercinta aja sesukanya,, beranak sekeluarnya.. baik krn nafsu sesaat ato memang penganut banyak anak banyak rejeki..

    akhirnya?? bumi penuh dengan orang bego...
    makin ancur deh buminya..

    heheh got the point??
    dunia ini butuh orang2 macam loe.. yang mau mikir.. yang peduli soal arus yang menenggelamkan kebebasan berpikir dan bertindak..
    yang bisa mewariskan dengan optimal kepalanya yang penuh.

    klo loe mati dengan pikiran2 lo.. ato cuma nulis di blog.. it will not really make a different..
    orang tua itu selayaknya adalah.. saksi hidup untuk anaknya belajar tentang hidup..
    secara alaminya seperti itu.. walaupun dengan 2% kelebihan lipatan otak manusia itu manusia bisa memanipulasi dan menolak alam sehingga menimbulkan ketidakseimbangan..

    well.. alam itu.. harus seimbang.. sehingga chaos mungkin harus terjadi ketika keseimbangan terganggu. (sehingga gak perlu kuatir bumi penuh.. masih ada tsunami2, badai2, dan gempa menanti.. sepertinya sekarang pandemi lagi menyerang juga)..

    soal nikah.. heheh no komen dulu ah..
    dulu gue penganut gak mo nikah..
    but life told me that maybe I should try.. (^o^)

    dan nggak sebaiknya kita menjudge pernikahan dengan apa yang terlihat dan apa yang terjadi pada orang2 di sekitar..
    it might be really really really awful.. or it might be even more wonderful.. how wonderful? never know till I dive it..

    life is a matter of force. bahwa ada reaksi dari suatu aksi.
    and that learning is a whole life process.. sehingga perubahan akan terus terjadi..

    seperti kau bilang.. salahkan alam..
    you can choose what you want to do.. just can't choose the consequence nature will bring..

    BalasHapus
  3. hiehehehe, itu film apaan? gw jadi pengen nonton!
    yah alam emang bekerja menjaga keseimbangannya lin, tapi gw nggak bisa liat ada orang yg mati [walopun emang suatu saat bakal mati juga] hehehe.
    gw nggak menjudge pernikahan kok. bisa aja wonderful kan, makanya meskipun repot tapi worth it lah [itu kalo wonderful loh, hehehe].

    btw, cepet pulang ke kampus gajah duduk dong sayang, katanya mo ditungguin lulusnya...tapi gw gamau bareng lo lin! hahahaha.

    BalasHapus
  4. bingung mil, kenapa tidak menikah malah lebih ribet daripada menikah (penasaran sama jawaban lo dah), sorry kalo OOT, cuma mencuplik sedikit dari tulisan diatas..

    BalasHapus
  5. Ya ribet tin, lu mau dicap yg nggak2, dilabeli perawan tua kalo gak nikah? dibahas terus, digunjingin terus, dijadiin contoh negatif terus? ribet kan ngurus begituan. kecuali kalo orangnya gebleg sih udah bodo amat lah ya. trus klo lo punya anak tanpa nikah gimana? lo mau anak lo dicap anak haram karena nggak punya surat yg dikarenakan emaknya nggak punya surat kawin? kita ini hidup di negara yg semua tetek bengeknya diurus surat2. Kalo nggak pake surat lebih ribet!

    BalasHapus
  6. gw suka bgt tulisan di paragraf ketiga dari akhir

    "Punya perut yang membesar..."




    (^^,)

    BalasHapus