I find it beautiful to fight what mainstream does.
Istilahnya, melawan arus.
Tidak tahu deh, dari kecil saya sudah merasa tidak nyaman dengan pembedaan antara laki-laki dan perempuan, serta ‘hal-hal khusus’ yg disematkan pada perempuan dan menjadi kewajiban. Saya merasa tidak adil ketika mengetahui anak lelaki lebih menguasai harta orang tuanya kelak dibanding anak perempuan [kecuali pada adat Minang yang matrilineal], anak perempuan tidak boleh melakukan hal-hal fisikal seperti memanjat pohon karena khawatir robek [apanya yg robek???], tidak boleh ngangkang, saat duduk dan berjalan kaki harus rapat, tidak boleh tertawa keras, tidak boleh makan sambil berjalan, anak perempuan harus bisa memasak, mencuci dan melakukan pekerjaan rumah lainnya [which is tidak pernah saya lakukan]. Saya terganggu dengan larangan-larangan yang herannya kok nggak pernah diberikan buat anak lelaki. Mentang-mentang saya perempuan kenapa saya diutak-atik dan diurusi melulu? Ruang gerak saya dibatasi oleh aturan yang luar biasa normatif.
Saat bertambah besar, saya makin terganggu. Saya ingat saat itu teman2 sekelas saya memilih saya jadi ketua kelas, tapi guru saya bilang, sebagai muslim yg baik kita harus memilih pemimpin laki-laki. Lho? Lho? Lho? Dan ketika remaja, saya sebagai perempuan harus berhadapan dengan satu hal yg sampai saat ini terus saya lawan: KENDALI ATAS TUBUH. Perempuan tidak boleh memakai baju minim karena nanti takut diperkosa di jalan, harus selalu menutupi tubuh. Saya sangat terganggu dengan ini. Saya memakai baju atas dasar pilihan saya, ini sifatnya rekreasional. Dan kalaupun saya memakai baju seksi, saya tidak berniat membuat siapapun jadi horny. Bukan tubuh saya yg salah, tapi otak kalian yg ngeres! Belum lagi imej perempuan baik-baik: sopan, lembut, dan PERAWAN. Soal keperawanan ini juga sering membawa petaka, karena perempuan dituntut untuk memberikan keperawanan pada suami kelak. Dan jika tidak perawan, bersiaplah dikatai jalang. Ini yg membuat saya marah, karena perempuan dinilai bukan pada kontribusi, tapi perilaku seksualnya! Maka saya berjanji pada diri saya sendiri: jika kalian memang menganggap keperawanan itu serupa simbol-simbol tanpa makna, saya TIDAK AKAN perawan sampai menikah [itu juga kalau saya menikah]! Tubuh perempuan diatur dan diurusi melulu, bukan oleh pemiliknya sendiri!
Semua itu adalah masalah yg sungguh-sungguh nyata. Dan kalau memang kita merasa itu masalah kenapa sih kita tidak boleh mengakui bahwa itu semua memang masalah? Kita malah dipaksa untuk menganggap itu bukan masalah yang signifikan dan [lagi-lagi] si perempuan juga yg harus dealing dengan semua itu. Saya pikir, cukup. Saya tidak mau menurut sepanjang sisa hidup saya. Saya mau melawan saja! Anggap saja ini PANGGILAN SUCI dari Tuhan. Saya menolak diperlakukan sebagai garda moralitas! Saya punya impian saya sendiri untuk menjalani hidup!
Teman saya (laki-laki) yg agak-agak sosialis itu barangkali menganggap perlawanan adalah suatu bentuk yg komunal, melibatkan sekumpulan orang, masif dan mudah terlihat atau dikenali. Apa ya, harus membentuk komunitas tertentu mungkin ya. Dan tidak lupa menyelipkan kemachoan di sana. Tidak heran jarang sekali saya melihat ada perempuan di sana. Padahal saya melihat perlawanan sangat mungkin dilakukan secara personal. Dan perempuan memang sering melawan melalui bahasa yang tidak dipahami oleh dunia yg kelaki-lakian ini.
Menurut saya, akar dari segala kedzaliman di dunia ini bermula dari ketertindasan terhadap perempuan (oleh laki-laki tentu saja) dan ini mengantar pada ketertindasan yang lebih lanjut seperti: ras, kelas sosial, orientasi seksual dan lainnya. Ya ya ya, ini sudah dibahas banyak orang. Tapi pada kenyataannya sulit sekali menemukan orang (baik laki-laki atau perempuan) yg belum menyadari hal ini dan masih menganggap wacana yang mengangkat kepentingan dan kebutuhan perempuan adalah tidak penting.
Saya sering kecewa dg beberapa sosok lelaki yg bisa dibilang sangat
well-educated, pintar, cerdas, ada juga yg
cutting edge, inovatif, pemberontak dan sebagainya. Tapi, sesuai pepatah lama, semuanya sama saja. Ujung-ujungnya memang mereka lelaki kebanyakan juga. Tidak ada yg istimewa. Pada dasarnya lelaki merasa kurang nyaman melihat perempuan keluar dari pakem ‘gadis baik-baik’ yg sepertinya sudah terprogram secara permanen di otak mereka. Lelaki ingin perempuan menjadi pihak kedua alias bawahannya, bukan menjadi PARTNER yg sejajar dengannya. Maaf, ini bukan curiga, tapi fakta. Lelaki mentoleransi perempuan yang lebih pintar, lebih aktif, punya kapasitas dan mandiri, itu semua tidak menjadi masalah jika perempuan mau menurut [dalam artian, posisinya lagi-lagi dikuasai lelaki]. Lelaki akan merasa nyaman jika perempuan menjadi pihak yang dipimpin dan dilindungi.
Tapi tidak ada yg lebih mengganggu bagi lelaki dibandingkan melihat perempuan menjadi pemimpin dan pembuat keputusan. Saya heran dg beberapa lelaki yg masih merasa janggal jika perempuan mengeluarkan potensinya dg maksimal. Istilahnya: “Aku nggak butuh cewek yg canggih, aku butuh cewek yg nurut sama aku,”. Tega-teganya mereka mengekang potensi yg dimiliki perempuan demi menikmati kemanisan, kepatuhan dan kepasifannya. Dan tidak ada yg berteriak tentang ini seolah-olah ini bukan masalah. Seolah ini hanya kecengengan perempuan yg tidak penting untuk ditanggapi dg dalih “Aduh, masalah lo cewek banget sih??”.
Untuk ini, saya mengkritik teman-teman lelaki saya, baik yg melawan kapitalisme ataupun yg tidak. Tidak usah berbicara jauh-jauh untuk melawan kapitalisme, globalisasi, modernisme atau apalah yg lain. Jangan berbicara tentang pemerintahan yg revolusioner segala. Selama kalian masih tidak bisa menerima bahwa perempuan berkapasitas menjadi pemimpin dan partner sejati (bukan pihak kedua yg ditentukan jalan hidupnya), selama kalian masih menganggap segala permasalahan yg dialami perempuan itu tidak signifikan dan bersumber pada ‘sisi emosional’ perempuan belaka, selama kalian masih menganggap bahwa feminisme hanyalah ‘ideologi cewek lesbian pemarah yg ingin menguasai dunia dan laki-laki’ (oh god, darimana sih pemikiran sempit itu berasal???), selama kalian tidak peduli dg saudari kalian dan tidak berminat mengangkatnya dari keterpurukan, selama kalian masih menganggap saudari kalian hanyalah seonggok dada-paha-vagina, selama kalian belum mencintai perubahan, selama kalian diam saja, selama itu juga ketertindasan akan selalu ada, dan dunia tidak kunjung menjadi lebih baik. Dan bagi yg menganggap bahwa kesetaraan dan so-called emansipasi itu telah dicapai, tolong dilihat kembali di sekitar kalian, apa benar begitu adanya? Memang sudah banyak perempuan yg memiliki akses luas dan bekerja di segala bidang, tapi di balik semua itu perempuan mentok lagi di ranah domestik dan dituntut untuk mengurusi anak dan rumah juga. Jangan tanya apakah peran ganda ini dituntut juga pada lelaki [dan jangan tanya juga apakah mereka setidaknya peduli].
Saya pikir feminisme membawa wacana yg penting sekali ditengok semua kalangan. Tapi disini feminisme dianggap sebagai ideologi yang lekat dengan imej ‘perempuan pembenci lelaki’, ‘perempuan pemarah yg ingin menguasai lelaki’ sampai lesbian segala [lha, lesbian yg bukan feminis malah lebih banyak]. Iyalah, ini bukan melulu mengurusi kesetaraan antara perempuan dan lelaki, seperti ungkapan basi:
“‘Ngapain sih diributin lagi, kita perempuan dan laki-laki kan sudah setara lho! Justru kalau kalian meributkan soal kesetaraan melulu, ini menunjukkan kalau kalian tidak percaya diri dan masih menganggap posisi kalian di bawah laki-laki!”.
Kesetaraan MY ASS.
Saya rasa kekuatan feminisme bukan pada urusan soal kesetaraan ini tadi. Tapi terletak pada kepekaannya menyikapi “penindasan terselubung” dan menyuarakan apa yang sesungguhnya dibutuhkan dan diinginkan perempuan serta advokasi berbagai kepentingan perempuan, terutama di negeri multikultural seperti negeri kita ini, karena setiap perempuan pasti memiliki pengalaman personal yg berbeda dengan perempuan lainnya. Dan seperti halnya yang dikatakan Bpk Tamrin Amal Tomagola, dosen sosiologi Universitas Indonesia yang juga mendalami feminisme, bahwa: jika kita menaruh perhatian dan terlibat pada aktivitas feminisme, maka kita telah mengangkat kemanusiaan ke level yang lebih tinggi.
Perempuan diidentikkan dengan sesuatu yg lembut, sopan, manis, perawan, pasif, terkekang hasrat seksualnya, altruistik, mengutamakan kepentingan orang lain dibanding dirinya sendiri (selflessness), semua sifat-sifat feminin yg telah sengaja dibentuk dan diharuskan muncul pada diri kita. Merujuk pada apa yg dikatakan Simone de Beauvoir: “perempuan dijadikan perempuan” bukan “menjadi perempuan”. Dan kita dipaksa mengakui bahwa itu alamiah. Ini bukan alamiah. Sifat feminin dan maskulin secara alami dimiliki semua orang, baik lelaki atau perempuan. Tetapi sifat maskulin perempuan kita telah dimatikan oleh masyarakat yg membentuk konstruksi sosial dan kita diwajibkan memelihara sifat feminin itu (dan menumbuhkannya) agar perempuan menjadi pihak yg subordinat, lemah, pihak kedua, yg dipimpin, yg mendukung, yg mengurusi bagian belakang panggung. Istilahnya:
backstage manager. Lelaki juga sebenarnya sama ruginya. Mereka tidak boleh menonjolkan sifat femininnya atau bakal dibilang lelaki lemah dan banci. Tidak boleh menangis. Tidak boleh menyukai yg manis-manis. Mereka sengaja disiapkan menjadi pihak yg dominan, macho, lebih kuat, agar indoktrinasi bahwa lelaki adalah pemimpin sejati dapat terus disuntikkan ke dalam pikiran kita. Dan yang mengingkari kesepakatan ini harus siap dilabeli cap aneh, bahkan abnormal. Dan bagi yang terus menyepakatinya, saya rasa dunia akan terus menjadi tempat yg tidak bersahabat bagi kaum minoritas. Tapi saya cukup hangat menyambut keberanian beberapa dari kita dengan ditunjukkannya stereotipe "cowok feminin" dan "cewek maskulin".
Fight what you can fight.
Fight for your right.
Perangi cara kalian sendiri. Saya rasa tidak usah segan berpakaian, berbicara, berekspresi sesuai dg yg kita inginkan. Kita, perempuan, berhak mengakui dan mengekspresikan sisi maskulin kita, begitupun lelaki berhak atas sisi femininnya. Saya memakai apa saja yg saya inginkan, tidak peduli milik lelaki atau perempuan. Saya tertawa dengan keras. Saya suka jokes jorok. Saya sering bicara kasar. Saya memakai celana dan kemeja yg kebesaran. Saya tetap memakai rok mini meskipun mantan pacar saya (lelaki) tidak setuju. Saya tetap memotong pendek rambut saya meskipun dia tidak setuju juga. Saya tetap beraktivitas di kampus meskipun dia merengek-rengek minta perhatian lebih banyak. Saya tetap bepergian, mengikuti dan melakukan ini itu meskipun dia melarang. Karena saya tahu, saya punya potensi. Siapapun, termasuk pacar saya tidak berhak menekan potensi saya demi egonya. Mantan pacar saya yg lelaki ini pernah bilang bahwa dia mengagumi perempuan yg pintar, namun di atas semua itu dia hanya ingin berpacaran dengan ‘gadis baik-baik’ (baca: menurut, tidak suka berpesta dan tidak suka mengumbar seksualitasnya). Kalimat yg sudah cukup memberitahu saya bahwa saya tidak cocok dengan lelaki ini. Tidak peduli seberapa besarnya cinta yg kami miliki. Lagipula, memangnya ada yg lebih rapuh daripada cinta? Menurut saya penting untuk menjalin hubungan yg didasarkan pada partnership dan friendship yg kuat, bukan cinta versi menye-menye yg palsu begitu.
Bagaimana cara menjadikan diri kita ancaman, gangguan bagi kemapanan berpikir lelaki? [jeezzzz sok heroik bukan?].
Lakukan semua yg menurut mereka tidak pantas dilakukan seorang perempuan. Lakukan apa saja, kecuali tunduk dan mensahkan labelisasi publik terhadap karakter perempuan. Kita boleh menjadi feminin, boleh menjadi maskulin. Setiap dari kita UNIK.
Saya suka berpesta, saya suka malam hari (karena malam milik semua orang), saya suka minum alkohol (sebanyak apapun yg saya inginkan), saya suka mabuk-mabukan, saya suka berpakaian seperti lelaki sama dg saya berpakaian seperti perempuan, saya bisa menjadi lelaki atau perempuan, saya bisa bercinta dg siapa saja yg saya mau, saya punya hasrat seksual, saya suka mengumbar seksualitas yg saya miliki (karena saya bukan makhluk aseksual), saya bisa menjadi pintar, saya bisa menjadi cerdik, saya suka menjadikan lelaki sebagai objek seksual, saya baik hati, saya centil, saya mencintai Tuhan, saya beriman, saya menyukai sains, spiritualisme dan feminisme, saya tergila-gila pada film, saya bisa menyanyi, saya membaca buku, saya menolak keperawanan, saya melakukan apa yg menurut norma sosial tidak pantas namun tetap saya lakukan, saya melakukan transendensi dan keluar dari definisi perempuan selama ini, saya tidak peduli apa yg saya lakukan ini terlihat keren atau tidak, dan di atas semua itu: saya bisa menjadi apapun yg saya mau. Saya manusia seutuhnya.
Dan apakah saya feminis? Bukan [saya hanya cewek yg senang minum bir!], hanya saja saya sangat concern pada nilai-nilai yg diusung feminisme, which is good, dan saya sangat berpihak pada saudari-saudari yg saya cintai dimanapun mereka berada. Dan saya mencintai siapapun yg berpihak pada keberpihakan ini, lelaki ataupun perempuan, yg beritikad baik untuk mengangkat kemanusiaan ke tempat yg lebih tinggi.
Dan saya masih menunggu kalian, lelaki-perempuan yang jelas-jelas bukan master’s tool, untuk menghancurkan master’s house bersama-sama!
Jika diam berarti setuju, maka kita tidak boleh diam lebih lama lagi. Your voice should be heard! Tell it to the world. Kita makhluk yg aktif secara fisik, mental, seksual, spiritual. Dan hebatnya kita bisa melakukannya lewat apa saja: tulisan, film, musik, buku, karya dalam bentuk apapun, apa saja.
Setiap orang punya panggilan sucinya sendiri. Kita bisa melawan dg cara masing-masing, dan lakukan dg provokatif. Agar kita didengar!
[Inspired by speech of Myra Diarsi, BJD Gayatri & Tamrin Amal Tomagola at Salihara]
*Untuk kalian cewek-cewek nakal*