Semua foto dan gambar yg ada di halaman blog ini dicolong dari arsip temen2 sendiri dan sumber2 yg nggak dikenal. Yang ngerasa punya hak cipta untuk itu, silahkan hubungi saya. Tuntutan kalian akan langsung masuk WC.

Selasa, 26 Mei 2009

BEROBAT MURAH

Tadi pagi, saya sudah ke Bumi Medika Ganesha (BMG). Sudah saya ceritakan kan sebelumnya [postingan “LOBANG”] kalau BMG ini adalah fasilitas kesehatan di kampus saya si gajah ngantuk yg super murah. Barangkali cuma BMG ini satu-satunya alasan yg berhasil bikin saya tetap cinta sama kampus saya, setelah yg lainnya terasa SUXXX, terutama kurikulum pendidikan yg hampir selalu ganti tiap tahun, standar penilaian yg amit2 tingginya, tuntutan IPK yang nggak manusiawi dan batas waktu studi yg maksimal 6 tahun, semuanya benar2 nggak cocok sama manusia berotak pas-pasan dan bergaya hidup berantakan kayak saya! Tolong ya, saya manusia, bukan dewa!

Oke, kembali ke BMG. Yg saya cintai dari BMG: murah [seperti saya mencintai hal-hal murah lainnya].

Saya curiga BMG ini memang menerapkan konsep socialized medicine [dulu banget di USA pernah coba dilakukan Hillary Clinton, tapi dihadang gila-gilaan sama bos-bos maruk harta macam pemilik asuransi kesehatan ituuh, coba tonton film dokumenter Michael Moore “SICKO”]. Yah, konsep ini diterapkan di Canada, Inggris bahkan Kuba. Makanya kalo lagi di sana terus sakit, nggak usah pusing, murah sih. Kenapa murah, yah biaya kesehatannya diambil dari pajak juga lah. Jadi intinya, kita membayar untuk bersama. Jadi kalo ada orang lain yg sakit dan dibayari pemerintah, ada andil kita juga di situ. Begitu pula ketika kita sakit dan dibayari pemerintah, ada andil orang lain juga di situ. Manis sekali bukan. Seperti halnya tagline film The Big White [yg dibintangi Robin Williams, coba tonton!]: if you need help, anybody will do.
Dengan konsep pengobatan murah begini, tenang saja sayang, ketika kamu sakit, akan ada orang lain yg membayari ;)

Nah, kenapa BMG murah? Entahlah, barangkali dia menggunakan uang sumbangan dari teman2 saya yg kaya-kaya itu. Atau barangkali iuran dari ikatan alumni. Entah. Tapi menurut saya, pengobatan tersosialisasi begini penting [nggak usah mikir kejauhan soal sosialisme apalagi komunisme deh, nggak ada hubungannya kok]. Jadi nggak egois. Kesehatan adalah milik bersama. Ya toh? Sejauh yg saya lihat sih, teman saya yg berdomisili di Bandung dan berasal dari keluarga menengah [ke atas] jarang yg menggunakan fasilitas BMG ini. Barangkali mereka sudah punya dokter langganan sendiri. Atau mungkin mereka tidak percaya sama yg murah2 [inget, harga nggak pernah bohong! :P]. Ya iyalah, ngapain pake yg generik kalo ada duit lebih? Bisa dimengerti. Tapi untuk saya dan anak perantauan lainnya, yg jauh dari rumah, tidak punya sanak saudara dan berbekal uang seadanya, fasilitas BMG ini sangat membantu di saat kita sedang teler gara2 sakit [dan bokek juga]. BMG merupakan salah satu dewa penolong yg dibuatkan Tuhan untuk kita-kita ini, dengan duit yg berasal dari mereka-mereka yg punya banyak. Saya percaya, yg punya banyak sudah sepantasnya berpihak pada yg tidak berpunya banyak.

Maka, saya mendaftar di loket pagi tadi dan disuruh bayar 5 RIBU RUPIAH SAJA.

Setelah itu saya mengantri sebentar di dokter umum. Tidak sampai 15 menit, nama saya sudah dipanggil. Saya masuk, konsultasi dg dokter sebentar [dan tampaknya dia sudah langsung paham dg apa yg saya alami], lalu saya disuruh berbaring, perut saya ditekan2 dan tensi darah saya dicek. Berikutnya saya keluar dan menunggu di apotik selama 10 menit. Saya diberi 2 macam obat yg harus diminum 3 kali sehari dan 1 tube salep yg harus dioleskan pada bagian yg sakit [anus saya, maksudnya]. Semua obat itu seharga 129 ribu. Tapi saya tidak perlu membayarnya. Saya cukup menuliskan saja harganya di form yg harus diisi.

Tapi, sampai detik ini salep yg diberikan belum saya pakai juga, setelah membaca keterangan efek sampingnya: “rasa seperti terbakar”. Hiiiii. Saya tidak cukup bernyali!

LOBANG

Seumur hidup baru kali ini saya mengalami yg namanya berak darah.

Tadinya saya nggak ngeh kalo darah yg mengucur itu berasal dari anus. Seperti biasa, ritual harian saya [dan kalian lah pastinya] adalah buang hajat. Kemarin lusa saya sedikit kesulitan [susah keluar] dan kesakitan waktu buang hajat, kemarin juga begitu walau tidak sesakit kemarin lusa dan pagi ini juga tidak sesakit sebelumnya. Padahal menu makanan saya sehari-hari ya cuma sayur, palingan ditambah tahu, tempe dan telor dan berbagai varian di antara ketiga itu. Ya pokoknya makanan saya selalu ada sayurnya lah. Ya mau makan apalagi, lha wong saya nggak makan daging. Tapi saya baru sadar kalau minggu ini saya KURANG MINUM. Nah, air itu sangat penting untuk menghidupi tubuh. Saya sadar bener ini, tapi karena minggu ini saya sibuknya minta ampun, saya sering lupa minum air putih [seingat saya, kemarin2 ini saya cuma minum jus stroberi dan teh]. Kalo dipikir2, pantesan….mata saya sering nyut-nyutan kalo kelamaan di depan komputer dan kepala sering pusing. Saya sudah coba istirahatin dengan tidur cepat dan banyak, tapi kok masih puyeng dan lemas juga ya. Ternyata saya baru ingat, saya sedikit sekali minum air putih. Tapi kalau yg namanya berak darah, ya kemungkinan paling besar sih gara2 saya jajan makanan yg jorok [padahal saya paling seneng jajan makanan murahan :P]. Palingan saya diinfeksi bakteri, atau amoeba kayaknya, soalnya saya mules2 juga dikit.

Kembali ke berak darah, pagi ini ketika buang hajat, saya terkejut waktu ada darah yg mengucur. Warnanya merah, segar. Seperti warna darah menstruasi hari pertama. Dan jumlahnya cukup banyak. Nah, berhubung anus saya tidak terasa sakit banget [palingan cuma perih dikit, sisa-sisa kemarin waktu buang hajatnya agak susah], saya masih bingung nih, ini darah keluar dari vagina atau anus? Entah memang saya yg bodoh atau karena “ilusi lobang” [maklum, memang begini jadi makhluk yg punya banyak lobang, sering tertukar, bagian mana yg sedang keluar], saya sebenarnya merasa bahwa vagina saya tidak mengeluarkan apapun, saya tetap mengasumsikan kalau ini memang darah menstruasi, didukung dengan jadwal mens saya yg memang jatuh pada tanggal belasan [walaupun terasa aneh, karena saya tidak merasakan nyeri di perut atau pegal2 pada pinggang seperti saya biasa rasakan di hari-hari awal mens]. Jadilah saya memakai pembalut hari ini. Dan betapa terkejutnya saya ketika menyadari bahwa hari ini vagina saya tidak mengucurkan apa-apa.

Kalau begitu memang anus saya yg berdarah.

Kedua lobang ini [saya menyebutnya lobang, bukan lubang, biar akrab ;)], vagina dan anus, pada perempuan letaknya memang bersebelahan. Meskipun bertetangga, tapi fungsinya sangat berkebalikan. Kalo yg satu [vagina] buat dimasukin, yg satunya lagi [anus] malah dipake buat ngeluarin. Yah kadang memang ada yg menggunakan lobang yg harusnya dipake buat ngeluarin, tapi dimasukin juga [baca: aktivitas seksual]. Yah, kalau ada yg melakukannya demi alasan rekreasional, yah silahkan, resiko kan ditanggung sendiri2 ini toh. Katanya sih enak, nggak tahu juga ya, saya terlalu takut dan sadar higiene buat mencobanya. Saya, untuk alasan apapun, kayaknya nggak akan pernah mau memasuki anus saya dengan apapun. Ih, beneran loh. Lha, liat saja, saya yg anusnya nggak pernah dimasuki apa-apa saja sudah berdarah. Apalagi kalo dipake buat yg lain. Ya saya tahu sendiri, karena kebetulan pernah mempelajari struktur dan perkembangan pada hewan, termasuk manusia [yah secara biologis kita ini hewan lohhh]. Kalau kata dosen saya [yg cukup saya percayai], semuanya itu terbentuk ada maksudnya. Anatomi mendukung fungsi. Yah Tuhan [yg nggak percaya Tuhan ya sebut saja alam] nggak asal bikin lah. Kenapa juga anus ini berbentuk mukosa yg tipis dan selapis, mensekresi mukus pula [yg nggak akrab sama istilah ini sebut saja lendir], makanya jadi licin-licin gimana gitu. Yah fungsinya dia memang untuk mengeluarkan hasil ekskresi [alias sampah metabolisme] atau aktivitas yg biasa kita sebut buang hajat itu tadi. Bayangin kalau nggak ada si mukus [alias lendir], keluarnya jadi seret dan susah, nah terus ujung-ujungnya sakit. Nah, makanya, ayo sekarang kita bersyukur dulu kita sudah diciptakan sempurna dan dianugerahi anus yang bermukus. Ini kenikmatan yg tidak bisa dibeli lho.

Mungkin karena si mukus juga yang bikin licin, namanya aja licin, ya pasti ada sensasinya, ya nggak? Beberapa dari kita jadi tergoda memanfaatkannya untuk beraktivitas seksual dengan harapan bakal terasa enak. Yang lain terserah, tapi kalau saya ngeri. Mau dibilang enak atau apa, terserah, saya tetap menolak mentah-mentah. Situ enak, sini yg ambeyen. Pokoknya lobang yg ini bukan restricted area, tapi benar-benar CLOSED area. Maret lalu, saya pernah menonton film Israel di Q Fest [klik disini] berjudul Good Boys, tentang seorang hooker gay yg diperkosa dan diperlakukan dengan biadab oleh seorang penculik, dan dipaksa melayani beberapa orang sekaligus. Setelah disodomi oleh beberapa lelaki, dia mengalami pendarahan. Saya merasa perih melihatnya, membayangkan di luar sana ada orang seperti itu, dianggap tidak berharga, dilecehkan dan diperlakukan dengan tidak manusiawi. Saya menolak penindasan! Apalagi penindasan terhadap anus. Kalau nggak mau anal sex jangan dipaksa dong!

Okay, kembali ke perlobangan. Lobang saya yg satu, vagina, memang biasa mengeluarkan darah tiap bulan [walaupun asal darahnya tentu dari dinding rahim yg meluruh]. Tapi kalau darah ini keluar dari lobang satunya, anus, ini namanya BAHAYA. Dan lebih berbahaya kalau darahnya bukan berasal dari anusnya, tapi dari perabot yg di dalam, bisa jadi usus besar [keliatan kan bedanya vagina dan anus? Kontras!]. Dan menyadari ini, saya PANIK bukan main. Biasanya saya cuek kalau sedang sakit, tapi saya TIDAK SUKA BERDARAH [lebih suka menonton orang lain yg berdarah :P]. Saya langsung sms teman saya, Siva, yg punya mamah dokter dan praktek juga di Bumi Medika Ganesha.

Notes: Bumi Medika Ganesha adalah klinik kesehatan kampus saya. Saya tidak pernah periksa ke klinik atau rumah sakit manapun di Bandung selain di situ, karena saya percaya fasilitas kesehatan sudah SEHARUSNYA murah. Setiap periksa, saya cukup membayar 5 ribu saja, ya 5 RIBU SAJA, dan saya diperiksa dokter berpengalaman serta mendapat obat yang lengkap dan tidak terhitung banyaknya [itu termasuk suplemen dan vitamin] yang berharga mencapai ratusan ribu rupiah. Semuanya itu seharga LIMA RIBU dengan prosedur yang sangat mudah. Mungkin ini satu hal [dan saya curiga cuma satu-satunya, hehe] yang saya sukai dari kampus saya, dia sudah bisa menerapkan yg namanya socialized medicine. Apa ya, pengobatan atau pelayanan kesehatan yang tersosialisasi. Aduh, ngerti nggak maksud saya? Murah lah pokoknya. Jadi kalau begini, saya masih bisa tahu kemana larinya duit hasil sumbangan teman2 saya yg masuk ke kampus saya ini lewat berbagai jalur. Saya sendiri waktu masuk ke kampus ini saya nggak menyumbang apa-apa, termasuk duit [seperti sudah bisa ditebak, saya percaya bahwa pendidikan sudah SEHARUSNYA murah], bermodal nol rupiah. Yah, mungkin saya cuma bisa menyumbang tampang dan kecerdasan :P

Setelah saya sms Siva dan menceritakan ciri-ciri pendarahan, dia mengatakan kalau saya kemungkinan terbesar kena ambeyen. Oh tidak! Tidak, tidak, tidak. Apapun, asal jangan itu! Yang saya tahu, sejak kecil, ambeyen adalah musuh utama setiap manusia normal. Jika kita terkena ambeyen, kita akan menghabiskan sisa hidup kita dengan ketidakbahagiaan dan ketidaknyamanan. Itu sih katanya. Tapi itu BERHASIL menakut-nakuti saya. Serius, saya panik beneran. Saya berusaha meyakinkan Siva bahwa darah yg mengucur tidak banyak, dan hanya sekali, dan sekarang pun saya tidak merasa sakit sama sekali. Perihnya tadi pagi hanya sebentar dan waktu buang hajat saja. Tapi Siva tidak kalah meyakinkan saya bahwa itu ambeyen. Saya cuma bisa menelan ludah. Getir. Lalu sibuk menerka-nerka, apa yaaaaa kira-kira penyebabnya???? Saya rajin makan sayur kok [walaupun minggu ini saya kekurangan air!] dan lobang saya yg ini [anus] juga tidak pernah dimasuki macam-macam. Yang terasa bagi saya hanyalah waktu buang hajat cukup sakit. Siva lalu mengingatkan bahwa saya tidak boleh makan yang pedas-pedas dan kebanyakan duduk. Yang pertama, saya memang nggak doyan-doyan amat makanan pedas [walaupun tanpa cabe sama sekali, akan terasa hambar]. Yang kedua, justru karena saking malasnya saya, saya jarang duduk dan sering TIDUR-TIDURAN! Heheheh. Makan sayur saya sudah rajin, tinggal minumnya saja yg dibanyakin. Siva lalu mengingatkan untuk tidak minum minuman bersoda, kopi dan alkohol. Kebetulan ketiga-tiganya saya nggak doyan [kecuali yg terakhir, sesekali tapi, sering juga saya mau kok, tapi nggak sekarang lah yaaa, kan ini lagi recovery lobang yg berdarah]. Siva juga bilang supaya saya nggak usah resah, karena adik dan pacarnya juga pernah mengalaminya. Dia bilang, obat yang paling manjur adalah mengonsumsi biji pepaya mentah, 10 biji sehari. Nah ya, berarti PR saya lumayan banyak [kalau mau sembuh]: GOOGLING SEMUA tentang ambeyen, minum air putih banyak-banyak, jangan kebanyakan duduk dan makan biji pepaya. Dan makan biji pepaya itu, percaya atau tidak, rasanya kayak neraka! Nggak enak banget!
Lalu kenapa juga saya ngomongin lobang kali ini? Ya nggak apa-apa toh, seenggaknya biar kalian yg punya lobang jadi aware sama lobang sendiri dan bersyukur si lobang nggak rewel. Bersyukur loh kita punya lobang. Lobang = kenikmatan!

Jumat, 08 Mei 2009

VAGINA DENTATA


WHOA!
Waktu saya minta bikinin gambar vagina dentata sama temen saya, Joe, dia langsung mau gitu aja. Joe ini temen saya, dia kuliah di unpad (lupa jurusan apa) dan jago gambar, apalagi gambar yg serem-serem (padahal saya pesennya gambar yg lucu-lucu, hihihi). Dia sempet beberapa kali bikinin artwork buat band2 underground kok (lagi2 saya lupa bandnya apa). Jadi kalo kalian pengen dibikinin artwork sama dia, gih sana, minta bikinin. Tapi jangan lupa jajanin ya (baca: bayar, hahaha). Abisnya kan itu mata pencaharian dia :P. Kalian bisa temui dia di: 703rock.deviantart.com.

Tadinya mau saya jadiin header di blog ini, tapi berhubung yg baca blog saya masih ada temen2 dari kampus juga, mereka suka agak-agak shock kalo liat sesuatu yg ditabukan macam vagina begini. Sampe saya ditanyain, kenapa sih harus vagina? Loh, kenapa enggak? Katanya sih organ intim, intim lah, kan dia ada di kita (selama dia cewek) tapi pas nyebut kata vagina malah "hush, hush" kayak itu sesuatu yg dosa aja. Kasian banget dong saya berdosa gara-gara punya vagina? Abisnya kalian gitu sih, semua yg ada di cewek (baca: tubuhnya) ditabukan semua. Padahal apa sih salahnya vagina? Vagina ya vagina, diciptakan begitu ya memang ada tujuannya. Dia bisa fungsional (baca: reproduksi) dan bisa rekreasional (baca: ML). Kenapa kalian jadi merinding melihatnya? Kalo jadi horny ya salah otak kalian, bukan salah vagina. Makanya saya benci deh sama kalian, saya lebih cinta vagina, wek!
Terus saya ditanya juga, kenapa sih harus vagina dentata?
Abisnya selama ini setiap cewek mengalami kekerasan yg dijadikan objek kekerasan pasti vaginanya. Dia diperkosa karena dia cewek. Terus masih ada aja cowok yg terobsesi pengen kawin sama cewek yg masih perawan, itu bentuk kekerasan mental juga lah. Kamu mau kawin sama cewek apa sama vagina?
Nah, vagina dentata itu kan vagina yg bergigi. Aslinya ada atau gak, ada sih, meskipun gak seseram yg kamu bayangin. Kalo yg kayak monster gitu sih cuma dongeng2 aja, cuma folklore. Tapi seenggaknya ada juga loh counter action dari si vagina kan, selama ini dia yg selalu dijajah dan lemah, ternyata dia juga bisa menggigit! :D

*Untuk semua perempuan korban kekerasan dan pemerkosaan*

Kamis, 07 Mei 2009

NGINEP DI RUMAH OSMAN


Osman itu temen kampus saya.
Kalo nginep rumah dia, itu artinya makanan! Hehehe.
Osman itu jago masak! Setelah saya sempet icip-icip wine punya bapaknya [diam-diam dong tentu], dan kita makan hasil masakan Osman! Dia bikin sup jamur yg enaakkkkk bgtttt. Secara cuma itu yg bisa saya makan, soalnya menu utamanya nasi goreng sosis kornet. Hiiii.

Saya dan temen2 kampus lainnya nemenin Osman yg orang rumahnya pada nggak ada [keluar kota gitu kalo nggak salah] dengan acara puncak: nonton Coming Soon sama Karma. Dua2nya film horror. Coming Soon itu [film Thailand] serem bangettt dah menurut saya, sumpah. Saya udah pernah nonton di iNafff tahun lalu, sebenernya gak akan pengen nonton lagi, tapi mau gak mau deh. Tapi Bokir membuat kekacauan dg melawak [yg saya akui LUAR BIASA LUCU] di tengah2 film. Pas Karma saya udah teler, jadi aja tidur. Padahal ngeliat awalnya udah keren kok filmnya, dibandingkan Hantu Jamu Gendhooong getho lhooo!

WATER LILIES [NAISSANCE DES PIEUVRES]

Film ini jadi opening film di V fest, tapi kan saya nggak bisa dateng dari hari pertama, jadi saya ketinggalan, huhuhu. Padahal film ini katanya merupakan salah satu film yang paling dibicarakan di Prancis. Dan menurut teman yang sudah menonton duluan film ini KEREN! Saya jadi penasaran.

Luckily, minggu siang teman saya sms bahwa dia punya tiket gratis menonton sinema Prancis di BIP. Setelah sampai di sana, kita baru tahu kalau yang diputar adalah film Water Lilies! HELL YEAH, I’m the LUCKY bastard! [harap maklum, di tiketnya yang tercantum adalah judul aslinya dalam bahasa Prancis, dan tidak seorang pun dari kami yang ngerti bahasa Prancis!]. Memang saya ditakdirkan menonton film ini! [belakangan saya baru tahu dari teman kampus kalo film ini sudah ada dvdnya! Hahaha, yah setidaknya saya menonton gratis]. Nah, saya sendiri bingung kenapa judul internasionalnya Water Lilies, padahal menurut literatur, Naissance des pieuvres itu artinya: kelahiran octopus [tau octopus kan, itu loh, gurita ya namanya, cumi-cumi besar yg banyak tentakelnya, halah, kenapa cumi-cumi???]. Tapi mungkin dinamai Water Lilies karena film ini diramaikan oleh lukisan-lukisan karya Claude Monet [lah, memangnya dia bikin lukisan bunga lily?]. Aduh entahlah. Hahaha.

Saya menonton dengan ekspektasi yang tinggi karena membaca review di booklet V fest yang menyebutkan film ini pertama kali diputar di Un Certain Regard Festival Film Cannes 2007 [peduli amat], debut dari sutradara muda Celine Sciamma [27 tahun]. Mengangkat tema seksualitas gadis-gadis remaja yang berumur tanggung [yah, sekitar 15-17 tahun mungkin ya], saya selalu suka tema seksualitas [yang digarap dengan indah dan mendalam, tentu saja!].

Bercerita tentang Marie [Pauline Acquart], yang selalu terpesona pada renang indah. Kalian tahu renang indah kan, olahraga yang terdiri dari sekelompok orang yang menampilkan gerakan-gerakan tersinkronisasi sambil berenang, di dalam air tentu saja. Marie adalah seorang gadis dengan tipikal ‘lambat bertumbuh’ dengan perawakan yg kurus, kelaki-lakian dan berpenampilan kasual, namun pengamat yg baik, dan somehow she looks so pretty. Jujur, sangat sulit mendeskripsikannya. Marie ingin menjadi anggota tim renang indah, namun gagal karena pendaftaran keburu ditutup. Marie pun akhirnya mendekati kapten tim renang, Floriane, seorang gadis cantik yang menjadi bintang di antara teman-temannya karena kecantikan, kepercayaan diri dan sensualitas yang dimilikinya. Awalnya Floriane acuh tak acuh. Namun Marie menjanjikan akan melakukan apa saja untuknya jika Floriane mau membawanya masuk ke tim dan melihat bagaimana para anggota tim berlatih renang indah. Floriane [Adele Haenel] akhirnya setuju. Sejak itu Marie mengikuti kemana pun Floriane pergi: berlatih dan bertanding. Floriane yang selalu menjadi sosok soliter diam-diam dibenci oleh temannya karena imejnya sebagai ‘gadis jalang’ dan kedekatannya dengan beberapa cowok, menemukan sesuatu yang manis dan unik dalam diri Marie. Marie yang terpesona oleh Floriane sejak pertama kali melihatnya merasakan keintiman yg selama ini dia idamkan. She seems so in love.

Mereka pun semakin sering menghabiskan waktu bersama. Sampai kemudian Floriane berniat untuk tidur dengan Francois [Warren Jacquin], cowok tampan bintang tim polo air. Floriane mengaku bahwa sebenarnya dirinya tidak pernah bercinta dengan lelaki manapun. Dan dia harus melepas keperawanan sebelum tidur dengan Francois. Sangat dilematis untuk Marie ketika Floriane memintanya sebagai ‘orang pertama yang melakukannya’. Sementara itu, Anne, sahabat Marie yg berbadan bongsor dan berperilaku kikuk [namun agak gila], tergila-gila pada Francois dan rela melakukan apa saja untuk mendapatkan perhatian cowok itu, dan terutama: ciuman pertama darinya. Namun setelah mendapatkan apa yg dia inginkan, Anne justru merasa bahwa sesungguhnya ada yang lebih penting dari itu semua. Apakah itu? Lalu apa yg terjadi dengan Floriane yg berniat tidur dengan Francois? Sedangkan, Marie akhirnya mendapat ciuman pertamanya dari cinta pertamanya. Siapakah?

Setelah selesai menonton film ini saya baru sadar kalau saya sudah lama sekali tidak menonton film remaja yg benar-benar subtil sejak terakhir kali Elephant [yg disutradarai oleh Gus Van Sant, bercerita tentang tragedi Columbine High School] atau bahkan Kids-nya Larry Clark. Dan praktis orang dewasa absen di film ini. Jangan harap menemukan orang tua di sini. This is pure about adolescent!

Sepanjang film, saya tidak bisa berhenti mengagumi bagaimana Sciamma bisa men-direct film dengan semua bintang yang masih sangat remaja dimana bintang-bintang tersebut mampu berakting dengan sangat baik dan meyakinkan. Untuk ukuran debut, saya bisa bilang film ini: SPLENDID! Sciamma berhasil memotret kompleksitas dunia remaja dengan sangat jenial dan intens, tanpa kehilangan sensitivitasnya. Apalagi secara visual dan teknis: TOP NOTCH. Perhatikan deh adegan di dalam air, ahhh, saya berasa lagi menyelam di dalam air beneran! Emosi saya yang saya dapat dari dialog ketiga gadis tadi pun tidak dilemahkan sedikit pun oleh subtitle! Namun saya lebih salut lagi sama tukang castingnya yang kok ya bisa-bisanya menemukan cast remaja-remaja dengan akting yang juara. Para pemeran yang masih belasan ini juga termasuk berani, karena mereka harus melakukan banyak adegan dengan pakaian minim [pada beberapa adegan malah telanjang] so maybe some of us will find it uncomfortable!

Saya sudah pasti memberi kredit tersendiri pada bintang-bintang muda yang dibawa Sciamma ini. Akting Pauline Acquart yang memerankan Marie bisa dibilang luar biasa. Dia menampilkan sosok gadis yang boyish dan somehow very introvert dengan berhasil [mengingatkan saya akan masa remaja saya yg waktu itu bertanya2 kenapa saya sangat kurus, tidak memiliki gundukan di dada dan berperawakan androgyny]. Coba lihat adegan saat Floriane melepaskan keperawanannya pada Marie. Begitu dingin. Juga caranya ketika menyelamatkan Floriane dari para lelaki hidung belang [smart ass!] dan perilakunya yg kikuk ketika jatuh cinta dengan Floriane. AWKWARDLY BEAUTIFUL. Adele Haenel juga berhasil ‘membius’ kita dengan kecantikannya dan aktingnya sebagai Floriane yang berani, provokatif dan sangat seductive [I’m sure you will be lusted after by her! In sweet way, of course], siapapun tidak boleh menolak fakta ini. VERY BRILLIANT. Lihat ending film ini, she looks so hot and innocent in the same time! Tidak lupa Louis Blachere yg berperan sebagai Anne sanggup membuat saya takjub dengan aktingnya ketika Anne berkelakuan freakkk somehow hilarious. Perhatikan adegan shoplifting kalung itu, atau ketika dia meminjam anjing demi mendekati Francois, aahhhh, UNFORGETTABLE!

Hal istimewa yang saya catat dari film ini saat saya menontonnya: SENSOR. Sensor manual yang dilakukan oleh pihak yang menayangkan film ini sangat merusak kenyamanan penonton [bayangkan lembaran plastik berwarna hijau yang agak transparan disorongkan begitu saja ke bagian-bagian tubuh atau adegan yang [menurut mereka] tidak layak ditonton]. Menurut penyelenggara, film ini memang film yang paling banyak disensor. Tapi itu sangat menyebalkan karena mengganggu flow dan membunuh mood penonton [makanya penonton rajin berteriak ‘huuu’ setiap dilakukan sensor!]. Dan sebenarnya penyensoran itu sama sekali tidak perlu. Dengan film yang berlatar dunia renang, wajar dong menampilkan adegan ganti baju di ruang ganti [namanya ganti baju ya telanjang, mau bagaimana lagi], atau mandi di shower sehabis renang. Sangat real. Dan nuditas itu tidak dimaksudkan untuk mengundang birahi. Adegan berciuman juga harus disensor segala? Berapa dari kita sih yang tidak berciuman saat remaja? Memang begitulah dunia remaja. Kita tidak bisa melepaskan seksualitas darinya, karena di saat kritis itulah masing-masing dari remaja tersebut belajar mengenali dirinya dan berkompromi pada hidup lewat banyak hal, salah satunya: seksualitas, yang notabene selalu ditabukan oleh orang dewasa [padahal kenyataannya orang dewasa lah yg lebih doyan syahwat!]. Lagipula menurut pengamatan saya, kebanyakan yang menonton malah bukan lagi remaja! Sensor yang salah sasaran dan mengganggu saja!

Selebihnya, saya cuma bisa bilang: tonton film ini! Tidak hanya elegan, film ini juga girl-centric [para tokoh pria jarang sekali nongol]. Biasanya, film dengan sudut pandang perempuan sangat sulit dimengerti oleh lelaki. Biasanya. Seperti film-film Sofia Coppola [The Virgin Suicides, Lost in Translation] atau Jane Champion [The Piano], dan seperti halnya Mbak Nan T. Achnas, sutradara film Pasir Berbisik yang berkomentar tentang filmnya, “Women get it, men don’t”. Well, maybe I got it and you don’t. But you SHOULD TRY guys! Kalian harus tetap menonton film ini, setidaknya untuk memeriksa apakah kita berbicara dengan bahasa yg sama atau tidak :) . Film ini sebenarnya tidak terlalu disarankan untuk pecinta film drama Oscar-ish yang so called intelligent [whatfuckever it means], apalagi penggemar film remaja Hollywood [yg penuh komedi slapstick dan dialog yg dangkal berattt], tapi mengajak kalian yang ingin kembali ke masa-masa bergejolak itu, mengingatkan kita pada saat remaja, di mana kedekatan antara dua orang gadis kadang tidak hanya fisikal dan mental, namun seksual juga. Bahwa saat remaja, orientasi seksual kita cenderung cair, karena rasa cinta itu bercampur dengan rasa sayang yang terbungkus pertemanan.
Dan tetap manis, tentu saja.

Senin, 04 Mei 2009

SEX = FRUITS!

We shall love each other here if ever at all - Audre Lorde

Buat saya aktivitas seksual itu seperti makan buah. Maka orientasi seksual pun tidak lebih dari selera, buah apa yg kita senangi.

Saya selalu merasa bahwa diri saya adalah seorang biseksual. Saya tidak terlalu percaya bahwa ada orang yg benar-benar heteroseksual atau homoseksual. Well, pada beberapa hal, saya sebal pada Freud karena teorinya yg sering mendiskreditkan perempuan berdasarkan fisiknya (dasar genius bastard seksis!), tapi untuk yg satu ini saya manggut-manggut saja. Freud pernah bilang bahwa setiap manusia adalah naturally bisexual. Jadi setiap dari kita punya sisi homoseksual dan heteroseksual. Hanya saja, untuk peradaban yg telah disangga oleh norma agama ini nilai heteroseksual menjadi dominan dan di luar itu tidak pantas dimunculkan, alias tabu. Jadi, sudah fitrahnya saya juga memiliki sisi homoseksual. Hanya, selama ini bertahun-tahun lamanya, sisi homoseksual saya ditekan dan ditenggelamkan sedalam mungkin oleh norma agama dan masyarakat (God, I’m too tired to stand this fucking judgmental society!), dengan bumbu-bumbu bahwa homoseksual adalah calon pasti penghuni neraka terbawah.

Satu hal yg tidak bisa saya terima adalah anggapan bahwa homoseksual (lesbi, gay) itu tidak alamiah. Saya rasa insting seksual adalah alamiah dan merupakan bekal penting untuk bertahan hidup. Dan tidak semua orang harus menyukai lawan jenis kan? Seksualitas adalah hal yg positif, unik, sangat personal. Tidak semua orang memiliki insting seksual yg sama kan? Lagipula manusia adalah makhluk dengan berbagai dimensi dan karakteristik. Menjadi berbeda itu tidak pernah salah. Justru perbedaan (termasuk orientasi seksual) indah. Tuhan menciptakan kita berbeda, kenapa harus diseragamkan?

Saya rasa homoseksual di Indonesia masih menjadi minoritas. Dan minoritas bukan berarti tidak ada. Dan jika ada, maka sudah sepantasnya hak mereka dipenuhi. Hak untuk mengekspresikan dirinya. Termasuk menjalani hidup aman, nyaman dan lepas dari penilaian ini itu. Masyarakat kita yg mengaku religius (tapi hanya menganggap agama sebatas simbol-simbol saja) ini masih sulit sekali menerima homoseksual. Mereka lupa, bahwa yang terpenting adalah esensi, bagaimana memanusiakan manusia, menghormati pilihannya dan memperlakukan sesama manusia dengan adil. Kalangan agama lebih suka mengurusi aspek susila daripada aspek sosial. Karenanya para pemuka agama itu lebih peka dengan urusan pornografi, prostitusi, homoseksualitas dibandingkan masalah sosial yang nyata seperti kemiskinan, kekerasan, termasuk human trafficking!

Mereka tidak pernah bertanya-tanya dan berusaha memahami homoseksual. Apalagi menerima homoseksual sebagai manusia yg sama saja dalam kehidupan sehari-hari, punya pikiran dan punya hati juga. Mereka tidak pernah peduli dan memanusiakan saudara sesama manusia. Tidak pernah memposisikan dirinya sebagai kaum minoritas. Tidak pernah mendukung dan mencintai saudaranya apa adanya. Tidak pernah berinisiatif untuk hidup bersama dalam damai. Tidak pernah peduli bagaimana seseorang yg berbeda dg orang kebanyakan harus struggling karena perbedaan yg dimilikinya. Yg mereka pedulikan hanya menyuruh tobat. Kenapa harus tobat? Apakah mencintai orang yg berjenis kelamin sama itu tindak kejahatan, sama dengan membunuh atau memperkosa? Jika hukum berkata mencintai adalah kejahatan, celaka sekali hidup di negeri yg gemar membenci ini.

Ini mengherankan. Seseorang yg memiliki pilihan, selera dan hobi yg berbeda dg orang lain malah diceramahi dan dimusuhi. Orang yg punya preferensi seksual berbeda diperlakukan tidak ramah dan dianggap sakit jiwa. Sedangkan dunia piskologi saja sudah jelas-jelas menyebutkan bahwa orientasi seksual sesama jenis bukanlah gangguan jiwa (kecuali memang dia mengidap gangguan jiwa). Saya rasa mungkin justru masyarakat yg sakit jiwa. Bawa-bawa Tuhan lagi. Siapa yg bisa jamin kaum heteroseksual memiliki ketakwaan yg lebih tinggi dibandingkan homoseksual? Tuhan yg menciptakan kita beserta pernak-perniknya, maka biarkanlah cukup Dia saja yg menilai kita. Tuhan mencintai hambaNya berdasarkan ketakwaannya, bukan orientasi seksualnya. Bahkan Irshad Manji, seorang muslim lesbian yang juga aktivis dan selalu membawa pesan perdamaian pernah berkata: “ Jika dia Tuhan yang Maha Tahu dan Maha Berkuasa tidak ingin menjadikan aku seorang lesbian, kenapa Tuhan tidak menciptakan orang lain untuk menggantikan posisiku? Bukankah Tuhan sangat bisa dengan keMahaKuasaanNya menjadikanku untuk tidak menjadi seorang lesbian?”.

Kita hanya peduli pada apa yg kita sebut normal, dominan, wajar, mainstream, semua yg biasa kita lihat dan akrab dengan kita. Oleh karenanya ketika ada sosok yg berbeda dan memiliki jalur di luar pakem ‘kewajaran’ kita itu tadi, kita malah terbengong-bengong dan menjadi shock sendiri, lalu sibuk menilai dan menghakimi tanpa pernah sempat mempelajari dan mencintai. Ini bentuk nyata masih belum teredukasinya masyarakat kita dengan pemikiran mereka yang lebih cocok hidup di abad ke-19.

Pernahkah kita mendengarkan suara orang-orang yg dipinggirkan? Toleransi dan tenggang rasa yg kita pelajari waktu SD hanya jargon-jargon mati rasa. Masyarakat mayoritas berubah menjadi mesin pembenci yg melibas habis segala sesuatu yg berjalan bukan di tempat yg sama dengannya. Masyarakat mematikan kaum minoritas agar dirinya terlihat lebih kuat dan punya otoritas, juga terlihat lebih baik dan memegang kebenaran absolut. Pengecut yang menyedihkan.
Lagipula, kenapa harus menilai seseorang dari orientasi seksualnya, dan bukan karya atau kontribusinya pada masyarakat? Apa sih yg sebenarnya membedakan heteroseksual dan homoseksual? Keduanya makan makanan yg sama, tidur, bekerja, bermain, belajar, berkarya, bagi yg muslim shalat 5 kali sehari, bagi yg nasrani ke gereja setiap minggu, tidak ada yg berbeda kecuali selera itu tadi.

Beberapa waktu yg lalu, saya bertemu seseorang di festival film yg saya kunjungi. Dari beberapa kali melihatnya, saya tahu dia istimewa. Saya suka sekali dg dia. Sulit untuk mendeskripsikan apa yg menarik dari dia. All I can say that she’s sooo nice, funny and DEFINETELY cute! Well, dia lesbian, dan tampaknya dia seorang butch (sebagai ‘laki-laki’ atau perempuan tomboy dalam hubungan lesbian) terlihat dari penampilannya yg boyish. Entahlah, I’ve been a heterosexual in my 22 years old, but that time I thought I find something better! HAHAHAHA.
Buat saya perempuan yg kerasukan roh laki-laki namun tidak kehilangan karakter femininnya adalah SOSOK YG SEMPURNA. Dia itu sosok yg sangat pantas disukai dan dicintai. She got the charm! Saya rasa siapapun yg mengenalnya akan merasa nyaman dengannya. She deserve to be loved. Lalu bagaimana mungkin saya menolak hasrat untuk mencintai dia hanya karena dia perempuan? Lha, sudah dari sononya dia diciptakan jadi perempuan. Memangnya bisa pesen jenis kelamin sama Tuhan?

So, I think I’m falling in love now. With a girl. And I’ve never felt THIS HEALTHY before.

Lalu bagaimana saya yg terbiasa menyukai lawan jenis tiba-tiba tanpa angin dan tanpa hujan menyukai sesama jenis? Tidak ada kontribusi lingkungan, pertemanan, apalagi genetis di sini. Rasa itu datang begitu saja seperti hujan di siang bolong. Tidak diundang. Seperti memang sudah digariskan oleh Si Kecintaan Saya itu. Lucunya, saya tidak mengalami fase dilematis sama sekali. Seperti biasa, saya selalu menyambut dg gembira dan penuh curiosity suatu pengalaman baru. Apalagi ini sangat mendebarkan. Saya tidak pernah repot-repot memikirkan apa yg bakal terjadi. I’m a type of living-for-today person. And today soon will be yesterday, so just PUSH IT TO THE MAXIMUM! Your spirit gives you energy for tomorrow!

Saya menyikapinya dg senang-senang saja. It’s a gift. Ini panggilan suci. Saya sebut ini fitrah. Ini pemberian dari Si Pencipta Manusia berikut atribut-atribut kemanusiaannya. Dia yg menciptakan raga saya, berikut kecerdasan, emosi, insting dan feeling. Ya sudah, terima saja dg ikhlas dan mensyukurinya. Anggap saja saya masih diberi kenikmatan untuk mencintai sesama manusia dan diingatkan olehNya untuk selalu membawa ‘ideology of love’. Jangan dilawan dan diributkan, dengarkan saja kata hati.

Ketika teman saya bertanya apakah saya menjadi lesbian, saya agak bingung juga menjawabnya. Saya menyukai perempuan ini karena kualitas yg ada di dalam dirinya. Jika kualitas itu ada di dalam diri seorang lelaki, misalnya, barangkali saya akan jatuh cinta dengan lelaki itu juga. Jadi, pada dasarnya saya tidak pernah peduli dg jenis kelamin. Soal orientasi seksual, saya sangat cair. Sebut saja saya biseksual. Saya bisa jatuh cinta pada lelaki atau perempuan. Saya bisa menjadi perempuan yg berpasangan dg lelaki. Saya bisa menjadi perempuan yg berpasangan dg perempuan. Begitupun menjadi lelaki yg berpasangan dg perempuan. Oh dear, i only do one thing to survive in my life: follow my heart.

Seperti halnya saya yg menyukai segala macam buah, dalam hal jatuh cinta pun saya tidak pilih-pilih jenis kelamin.

*Dedicated to all those boys who love boys, and girls who love girls. Make your voices. LOVE SHOULDN’T BE ABUSED!*

MAKE US THREAT!


I find it beautiful to fight what mainstream does
.
Istilahnya, melawan arus.
Tidak tahu deh, dari kecil saya sudah merasa tidak nyaman dengan pembedaan antara laki-laki dan perempuan, serta ‘hal-hal khusus’ yg disematkan pada perempuan dan menjadi kewajiban. Saya merasa tidak adil ketika mengetahui anak lelaki lebih menguasai harta orang tuanya kelak dibanding anak perempuan [kecuali pada adat Minang yang matrilineal], anak perempuan tidak boleh melakukan hal-hal fisikal seperti memanjat pohon karena khawatir robek [apanya yg robek???], tidak boleh ngangkang, saat duduk dan berjalan kaki harus rapat, tidak boleh tertawa keras, tidak boleh makan sambil berjalan, anak perempuan harus bisa memasak, mencuci dan melakukan pekerjaan rumah lainnya [which is tidak pernah saya lakukan]. Saya terganggu dengan larangan-larangan yang herannya kok nggak pernah diberikan buat anak lelaki. Mentang-mentang saya perempuan kenapa saya diutak-atik dan diurusi melulu? Ruang gerak saya dibatasi oleh aturan yang luar biasa normatif.

Saat bertambah besar, saya makin terganggu. Saya ingat saat itu teman2 sekelas saya memilih saya jadi ketua kelas, tapi guru saya bilang, sebagai muslim yg baik kita harus memilih pemimpin laki-laki. Lho? Lho? Lho? Dan ketika remaja, saya sebagai perempuan harus berhadapan dengan satu hal yg sampai saat ini terus saya lawan: KENDALI ATAS TUBUH. Perempuan tidak boleh memakai baju minim karena nanti takut diperkosa di jalan, harus selalu menutupi tubuh. Saya sangat terganggu dengan ini. Saya memakai baju atas dasar pilihan saya, ini sifatnya rekreasional. Dan kalaupun saya memakai baju seksi, saya tidak berniat membuat siapapun jadi horny. Bukan tubuh saya yg salah, tapi otak kalian yg ngeres! Belum lagi imej perempuan baik-baik: sopan, lembut, dan PERAWAN. Soal keperawanan ini juga sering membawa petaka, karena perempuan dituntut untuk memberikan keperawanan pada suami kelak. Dan jika tidak perawan, bersiaplah dikatai jalang. Ini yg membuat saya marah, karena perempuan dinilai bukan pada kontribusi, tapi perilaku seksualnya! Maka saya berjanji pada diri saya sendiri: jika kalian memang menganggap keperawanan itu serupa simbol-simbol tanpa makna, saya TIDAK AKAN perawan sampai menikah [itu juga kalau saya menikah]! Tubuh perempuan diatur dan diurusi melulu, bukan oleh pemiliknya sendiri!

Semua itu adalah masalah yg sungguh-sungguh nyata. Dan kalau memang kita merasa itu masalah kenapa sih kita tidak boleh mengakui bahwa itu semua memang masalah? Kita malah dipaksa untuk menganggap itu bukan masalah yang signifikan dan [lagi-lagi] si perempuan juga yg harus dealing dengan semua itu. Saya pikir, cukup. Saya tidak mau menurut sepanjang sisa hidup saya. Saya mau melawan saja! Anggap saja ini PANGGILAN SUCI dari Tuhan. Saya menolak diperlakukan sebagai garda moralitas! Saya punya impian saya sendiri untuk menjalani hidup!

Teman saya (laki-laki) yg agak-agak sosialis itu barangkali menganggap perlawanan adalah suatu bentuk yg komunal, melibatkan sekumpulan orang, masif dan mudah terlihat atau dikenali. Apa ya, harus membentuk komunitas tertentu mungkin ya. Dan tidak lupa menyelipkan kemachoan di sana. Tidak heran jarang sekali saya melihat ada perempuan di sana. Padahal saya melihat perlawanan sangat mungkin dilakukan secara personal. Dan perempuan memang sering melawan melalui bahasa yang tidak dipahami oleh dunia yg kelaki-lakian ini.

Menurut saya, akar dari segala kedzaliman di dunia ini bermula dari ketertindasan terhadap perempuan (oleh laki-laki tentu saja) dan ini mengantar pada ketertindasan yang lebih lanjut seperti: ras, kelas sosial, orientasi seksual dan lainnya. Ya ya ya, ini sudah dibahas banyak orang. Tapi pada kenyataannya sulit sekali menemukan orang (baik laki-laki atau perempuan) yg belum menyadari hal ini dan masih menganggap wacana yang mengangkat kepentingan dan kebutuhan perempuan adalah tidak penting.

Saya sering kecewa dg beberapa sosok lelaki yg bisa dibilang sangat well-educated, pintar, cerdas, ada juga yg cutting edge, inovatif, pemberontak dan sebagainya. Tapi, sesuai pepatah lama, semuanya sama saja. Ujung-ujungnya memang mereka lelaki kebanyakan juga. Tidak ada yg istimewa. Pada dasarnya lelaki merasa kurang nyaman melihat perempuan keluar dari pakem ‘gadis baik-baik’ yg sepertinya sudah terprogram secara permanen di otak mereka. Lelaki ingin perempuan menjadi pihak kedua alias bawahannya, bukan menjadi PARTNER yg sejajar dengannya. Maaf, ini bukan curiga, tapi fakta. Lelaki mentoleransi perempuan yang lebih pintar, lebih aktif, punya kapasitas dan mandiri, itu semua tidak menjadi masalah jika perempuan mau menurut [dalam artian, posisinya lagi-lagi dikuasai lelaki]. Lelaki akan merasa nyaman jika perempuan menjadi pihak yang dipimpin dan dilindungi.
Tapi tidak ada yg lebih mengganggu bagi lelaki dibandingkan melihat perempuan menjadi pemimpin dan pembuat keputusan. Saya heran dg beberapa lelaki yg masih merasa janggal jika perempuan mengeluarkan potensinya dg maksimal. Istilahnya: “Aku nggak butuh cewek yg canggih, aku butuh cewek yg nurut sama aku,”. Tega-teganya mereka mengekang potensi yg dimiliki perempuan demi menikmati kemanisan, kepatuhan dan kepasifannya. Dan tidak ada yg berteriak tentang ini seolah-olah ini bukan masalah. Seolah ini hanya kecengengan perempuan yg tidak penting untuk ditanggapi dg dalih “Aduh, masalah lo cewek banget sih??”.

Untuk ini, saya mengkritik teman-teman lelaki saya, baik yg melawan kapitalisme ataupun yg tidak. Tidak usah berbicara jauh-jauh untuk melawan kapitalisme, globalisasi, modernisme atau apalah yg lain. Jangan berbicara tentang pemerintahan yg revolusioner segala. Selama kalian masih tidak bisa menerima bahwa perempuan berkapasitas menjadi pemimpin dan partner sejati (bukan pihak kedua yg ditentukan jalan hidupnya), selama kalian masih menganggap segala permasalahan yg dialami perempuan itu tidak signifikan dan bersumber pada ‘sisi emosional’ perempuan belaka, selama kalian masih menganggap bahwa feminisme hanyalah ‘ideologi cewek lesbian pemarah yg ingin menguasai dunia dan laki-laki’ (oh god, darimana sih pemikiran sempit itu berasal???), selama kalian tidak peduli dg saudari kalian dan tidak berminat mengangkatnya dari keterpurukan, selama kalian masih menganggap saudari kalian hanyalah seonggok dada-paha-vagina, selama kalian belum mencintai perubahan, selama kalian diam saja, selama itu juga ketertindasan akan selalu ada, dan dunia tidak kunjung menjadi lebih baik. Dan bagi yg menganggap bahwa kesetaraan dan so-called emansipasi itu telah dicapai, tolong dilihat kembali di sekitar kalian, apa benar begitu adanya? Memang sudah banyak perempuan yg memiliki akses luas dan bekerja di segala bidang, tapi di balik semua itu perempuan mentok lagi di ranah domestik dan dituntut untuk mengurusi anak dan rumah juga. Jangan tanya apakah peran ganda ini dituntut juga pada lelaki [dan jangan tanya juga apakah mereka setidaknya peduli].

Saya pikir feminisme membawa wacana yg penting sekali ditengok semua kalangan. Tapi disini feminisme dianggap sebagai ideologi yang lekat dengan imej ‘perempuan pembenci lelaki’, ‘perempuan pemarah yg ingin menguasai lelaki’ sampai lesbian segala [lha, lesbian yg bukan feminis malah lebih banyak]. Iyalah, ini bukan melulu mengurusi kesetaraan antara perempuan dan lelaki, seperti ungkapan basi:
“‘Ngapain sih diributin lagi, kita perempuan dan laki-laki kan sudah setara lho! Justru kalau kalian meributkan soal kesetaraan melulu, ini menunjukkan kalau kalian tidak percaya diri dan masih menganggap posisi kalian di bawah laki-laki!”.
Kesetaraan MY ASS.
Saya rasa kekuatan feminisme bukan pada urusan soal kesetaraan ini tadi. Tapi terletak pada kepekaannya menyikapi “penindasan terselubung” dan menyuarakan apa yang sesungguhnya dibutuhkan dan diinginkan perempuan serta advokasi berbagai kepentingan perempuan, terutama di negeri multikultural seperti negeri kita ini, karena setiap perempuan pasti memiliki pengalaman personal yg berbeda dengan perempuan lainnya. Dan seperti halnya yang dikatakan Bpk Tamrin Amal Tomagola, dosen sosiologi Universitas Indonesia yang juga mendalami feminisme, bahwa: jika kita menaruh perhatian dan terlibat pada aktivitas feminisme, maka kita telah mengangkat kemanusiaan ke level yang lebih tinggi.

Perempuan diidentikkan dengan sesuatu yg lembut, sopan, manis, perawan, pasif, terkekang hasrat seksualnya, altruistik, mengutamakan kepentingan orang lain dibanding dirinya sendiri (selflessness), semua sifat-sifat feminin yg telah sengaja dibentuk dan diharuskan muncul pada diri kita. Merujuk pada apa yg dikatakan Simone de Beauvoir: “perempuan dijadikan perempuan” bukan “menjadi perempuan”. Dan kita dipaksa mengakui bahwa itu alamiah. Ini bukan alamiah. Sifat feminin dan maskulin secara alami dimiliki semua orang, baik lelaki atau perempuan. Tetapi sifat maskulin perempuan kita telah dimatikan oleh masyarakat yg membentuk konstruksi sosial dan kita diwajibkan memelihara sifat feminin itu (dan menumbuhkannya) agar perempuan menjadi pihak yg subordinat, lemah, pihak kedua, yg dipimpin, yg mendukung, yg mengurusi bagian belakang panggung. Istilahnya: backstage manager. Lelaki juga sebenarnya sama ruginya. Mereka tidak boleh menonjolkan sifat femininnya atau bakal dibilang lelaki lemah dan banci. Tidak boleh menangis. Tidak boleh menyukai yg manis-manis. Mereka sengaja disiapkan menjadi pihak yg dominan, macho, lebih kuat, agar indoktrinasi bahwa lelaki adalah pemimpin sejati dapat terus disuntikkan ke dalam pikiran kita. Dan yang mengingkari kesepakatan ini harus siap dilabeli cap aneh, bahkan abnormal. Dan bagi yang terus menyepakatinya, saya rasa dunia akan terus menjadi tempat yg tidak bersahabat bagi kaum minoritas. Tapi saya cukup hangat menyambut keberanian beberapa dari kita dengan ditunjukkannya stereotipe "cowok feminin" dan "cewek maskulin".

Fight what you can fight.
Fight for your right.
Perangi cara kalian sendiri. Saya rasa tidak usah segan berpakaian, berbicara, berekspresi sesuai dg yg kita inginkan. Kita, perempuan, berhak mengakui dan mengekspresikan sisi maskulin kita, begitupun lelaki berhak atas sisi femininnya. Saya memakai apa saja yg saya inginkan, tidak peduli milik lelaki atau perempuan. Saya tertawa dengan keras. Saya suka jokes jorok. Saya sering bicara kasar. Saya memakai celana dan kemeja yg kebesaran. Saya tetap memakai rok mini meskipun mantan pacar saya (lelaki) tidak setuju. Saya tetap memotong pendek rambut saya meskipun dia tidak setuju juga. Saya tetap beraktivitas di kampus meskipun dia merengek-rengek minta perhatian lebih banyak. Saya tetap bepergian, mengikuti dan melakukan ini itu meskipun dia melarang. Karena saya tahu, saya punya potensi. Siapapun, termasuk pacar saya tidak berhak menekan potensi saya demi egonya. Mantan pacar saya yg lelaki ini pernah bilang bahwa dia mengagumi perempuan yg pintar, namun di atas semua itu dia hanya ingin berpacaran dengan ‘gadis baik-baik’ (baca: menurut, tidak suka berpesta dan tidak suka mengumbar seksualitasnya). Kalimat yg sudah cukup memberitahu saya bahwa saya tidak cocok dengan lelaki ini. Tidak peduli seberapa besarnya cinta yg kami miliki. Lagipula, memangnya ada yg lebih rapuh daripada cinta? Menurut saya penting untuk menjalin hubungan yg didasarkan pada partnership dan friendship yg kuat, bukan cinta versi menye-menye yg palsu begitu.

Bagaimana cara menjadikan diri kita ancaman, gangguan bagi kemapanan berpikir lelaki? [jeezzzz sok heroik bukan?]. Lakukan semua yg menurut mereka tidak pantas dilakukan seorang perempuan. Lakukan apa saja, kecuali tunduk dan mensahkan labelisasi publik terhadap karakter perempuan. Kita boleh menjadi feminin, boleh menjadi maskulin. Setiap dari kita UNIK.

Saya suka berpesta, saya suka malam hari (karena malam milik semua orang), saya suka minum alkohol (sebanyak apapun yg saya inginkan), saya suka mabuk-mabukan, saya suka berpakaian seperti lelaki sama dg saya berpakaian seperti perempuan, saya bisa menjadi lelaki atau perempuan, saya bisa bercinta dg siapa saja yg saya mau, saya punya hasrat seksual, saya suka mengumbar seksualitas yg saya miliki (karena saya bukan makhluk aseksual), saya bisa menjadi pintar, saya bisa menjadi cerdik, saya suka menjadikan lelaki sebagai objek seksual, saya baik hati, saya centil, saya mencintai Tuhan, saya beriman, saya menyukai sains, spiritualisme dan feminisme, saya tergila-gila pada film, saya bisa menyanyi, saya membaca buku, saya menolak keperawanan, saya melakukan apa yg menurut norma sosial tidak pantas namun tetap saya lakukan, saya melakukan transendensi dan keluar dari definisi perempuan selama ini, saya tidak peduli apa yg saya lakukan ini terlihat keren atau tidak, dan di atas semua itu: saya bisa menjadi apapun yg saya mau. Saya manusia seutuhnya.

Dan apakah saya feminis? Bukan [saya hanya cewek yg senang minum bir!], hanya saja saya sangat concern pada nilai-nilai yg diusung feminisme, which is good, dan saya sangat berpihak pada saudari-saudari yg saya cintai dimanapun mereka berada. Dan saya mencintai siapapun yg berpihak pada keberpihakan ini, lelaki ataupun perempuan, yg beritikad baik untuk mengangkat kemanusiaan ke tempat yg lebih tinggi.
Dan saya masih menunggu kalian, lelaki-perempuan yang jelas-jelas bukan master’s tool, untuk menghancurkan master’s house bersama-sama!

Jika diam berarti setuju, maka kita tidak boleh diam lebih lama lagi. Your voice should be heard! Tell it to the world. Kita makhluk yg aktif secara fisik, mental, seksual, spiritual. Dan hebatnya kita bisa melakukannya lewat apa saja: tulisan, film, musik, buku, karya dalam bentuk apapun, apa saja.

Setiap orang punya panggilan sucinya sendiri. Kita bisa melawan dg cara masing-masing, dan lakukan dg provokatif. Agar kita didengar!

[Inspired by speech of Myra Diarsi, BJD Gayatri & Tamrin Amal Tomagola at Salihara]

*Untuk kalian cewek-cewek nakal*

Minggu, 03 Mei 2009

OLD PICS!

Ini waktu foto-foto ama temen2 Promise to Death di Braga! Rame! Sekarang cuma Kenny ama Hasbi aja yang masih sering ketemu. Si Kenny sekarang sibuk ama Diego, bandnya yang keren! PTD aja udah gak ada lagi bandnya alias almarhum.




Ini kan waktu nonton Comeback Kid di Stardust. Mantan gw jadi openingnya. Masih ada Mario [RIP], trus ada Wantex juga dan mantan gw dooong! :P Oh, i was having good time! Itu ada juga foto ama Mas B a.k.a Bacot si gitaris jagoan. Pa kabar ya dia dan kelinci2nya?


Ini kan Gilang! Dulu kemana-mana bareng, soulmate gw! Waktu di Kickfest kita difoto di stand Monik trus dimasukin websitenya. Padahal gw pake baju Disinfected! Hahaha. Sekarang kemana ya dia?




Ini waktu ekskursi Cipatujah, Tasikmalaya. Jalan kaki berkilo-kilo sama temen2 lewat padang lamun buat ngeliat penangkaran penyu! Berasa Jejak Petualang! Gilaa, panasnya amit2, sampe item saya! Waahhh, tapi selalu seneng liat pantai! :D





KELUHAN TERHADAP: ORANG KAYA, SINETRON, AYAT-AYAT CINTA & UMUR PEREMPUAN

Pagi ini [tepatnya siang ini] saya bangun dari tidur di kamar teman saya dan teman saya sedang menonton TV yang menayangkan infotainment [dan masih saya tonton juga]. Infotainment ini menceritakan perjalanan serombongan pemain sinetron yang ratingnya sangat tinggi dan telah mencapai ‘season’ 3. Rombongan ini berjalan-jalan ke Singapura. Mereka diberi bayaran yg besar, diajak berlibur di kapal mewah, jalan-jalan, dan masih dapat bonus tambahan pula di atas kapal [masing-masing rombongan dapat bonus] oleh si produser yang orang India itu. Apakah mereka sadar, jika si produser bisa memberi SEBANYAK ITU dan tidak jatuh miskin, maka uang yg didapatnya dari sinetron itu pasti SANGATLAH BANYAK. Dan mungkin saja semua yg dia berikan kepada para pemain sinetron itu belum mencapai SETENGAH [atau malah seperempat] dari pendapatannya karena penayangan sinetron itu. Dan si pemain sinetron, yg bermain sinetron dengan alasan mencari uang [dan publisitas], apakah mereka sadar, bermain sinetron tidak akan membuat mereka kaya. Si produser orang India itulah yg akan terus bertambah kaya dan para pemain itu sesungguhnya hanya kecipratan sedikit saja. NGAPAIN BIKIN ORANG KAYA TAMBAH KAYA?

Para pemain sinetron itu lalu menghabiskan waktu dengan berbelanja di jalanan Orchard Road. Tahukah mereka Singapura mendapat devisa milyaran per tahun karena ratusan ribu orang Indonesia yang berbondong-bondong dan berbelanja di sana? Padahal sepanjang pengamatan saya, semua yg ada di sana, juga ada di Indonesia! Mungkin karena orang kita mengejar prestise. Siapapun yg bisa bepergian ke luar tanah ini dan menghabiskan duit di tanah orang bakal mendapat label ‘kaya’. Padahal menurut saya, kerajinan asli Indonesia justru memiliki prestise lebih tinggi dan imejnya lebih ‘mahal’ [oleh karenanya sampai detik ini saya tidak punya batik asli juga, atau kain tapis, atau kerajinan perak Kotagede yg cantik-cantik itu, karena memang mahal!]. Sementara Singapura ya begitu-begitu saja, hanya berisi butik2 yang notabene juga ada di setiap mal besar di Jakarta! Dan barang2 murahnya, juga bisa kita dapatkan di Gedebage dengan model yg tidak jauh berbeda! Apa yg kita cari disana sebenarnya? Untungnya orang tua saya bukan termasuk yg Singapura-oriented ini. Kalau liburan, orang tua saya lebih senang mengajak anak-anaknya ke Jogjakarta, Malang, Palembang, Banjarmasin atau Maluku. LAGIAN SAYA NGGAK MAU BIKIN NEGARA ORANG TAMBAH KAYA. NGAPAIN?

Lalu, saya melihat mantan presiden kita BJ Habibie dan keluarga ternyata menyenangi sinetron ini! Memang setiap orang punya selera yg berbeda, tapi untuk orang sejenius dia, selera acara TVnya cukup mainstream. Padahal kalau saya amati, sinetron ini sama saja dengan sinetron lainnya di era 2000-an ke atas. Full of drama. Unrealistic. Konsep hitam-putih yg kental. Dikemas dalam bentuk yg cheesy pula. Ini hanya repetisi saja dari yg sudah-sudah. Tidak ada yg berbeda. Duh, pokoknya nggak keren sama sekali deh. Tapi ya memang beginilah kita. Kita merasa hanya perlu pintar di bidang yg kita tekuni saja, kita merasa TIDAK PERLU KRITIS di segala hal yg kita lihat, dengar, baca, amati. Saya sendiri kaget juga ketika salah satu teman saya yang [saya bisa bilang dia sangat jenius di bidang akademis] menyenangi teenlit? [asli ga nyangka booo!]. Sampai detik ini pun saya masih tercengang jika ada seorang intelektual yg ternyata gemar menonton sinetron. Saya sendiri bingung. APA SIH YG MAU SAYA HARAPKAN DARI MENONTON SINETRON?

Kesebalan saya berlanjut ketika mengingat presiden republik ini dan keluarganya waktu itu menonton premier film [kalau kalian masih ingat] Ayat-Ayat Cinta [saya sebut AAC saja]. Setelah menonton, si presiden berkata bahwa dia menyukai film itu. Dia memuji-muji setinggi langit seolah film itu tanpa cela dan berkata bahwa film itu telah digarap dengan baik untuk membawa pesan ‘cinta’ yang terbungkus oleh nilai-nilai religi. Dia menilai film seperti ini membawa aura yg positif untuk masyarakat. Tak heran segenap pemain [dan kru-nya mungkin, saya lupa] diundang ke istana [what for, anyway?]. Saya tidak masalah dengan itu semua. Saya hanya kecewa pada satu kenyataan: bahwa presiden republik ini tidak berniat mengkritisi film itu sama sekali, setidaknya dari muatan sosial yg diusung film itu: POLIGAMI. Padahal sebuah film mengandung unsur sosial yg lekat dengan masyarakat. Dan tema poligami dalam film AAC itu sangat bias dengan kepentingan dan legitimasi kekuasaan lelaki. Apa dia tidak terganggu dengan sosok Fahri yg sangat sempurna: tampan, pintar, rajin, saleh dan selalu menjaga kesucian dirinya? Saking sempurnanya dia sampai dikejar-kejar beberapa wanita dan salah satu di antaranya sampai memfitnah dia dan menunjukkan stigma ‘cewek nggak bener yg suka ngejer-ngejer cowok’? Dan wanita ini digambarkan sebagai sosok yg ‘mengancam kesucian Fahri’. Belum lagi masalah beristri dua. Fahri sudah jelas lelaki plin-plan yg mengaku cinta pada istrinya tapi ujung-ujungnya kawin juga dg wanita lain dg alasan cinta dan menyelamatkan hidup orang lain [di sini kelihatan konfliknya sangat ‘sinetron’ sekali]. Dan si istri pertama harus makan hati ketika Fahri berduaan dengan istri keduanya, dan masalah itu terselesaikan hanya dengan: si istri pertama IKHLAS dan RELA demi kebahagiaan orang lain. Ini makin mensahkan citra perempuan sebagai sosok yg altruistik dan rela mengorbankan dirinya demi kepentingan orang lain [terutama suami & keluarga], padahal dia juga manusia, bukan dewi, dia memiliki kebutuhan yg ingin dipenuhi juga toh? Dan ujung dari film ini adalah, agar si Fahri dan istri pertamanya happily ever after dan menjadi suatu kisah yg happy ending, maka tokoh istri kedua dimatikan saja. Simpel kan? Saya sendiri salah satu orang yg skeptis dengan boomingnya novel AAC. Saya sudah lihat banyak novelnya bertumpuk di toko buku dan TIDAK BERNIAT membelinya sama sekali. Membaca sinopsisnya saja saya sudah tidak tertarik, belum lagi covernya [wanita bercadar] dan nama pengarangnya yg kearab-araban [padahal asli jawa!]. Tapi melihat kepopulerannya yg luar biasa, saya gatal juga meminjam novel dari seorang teman [dengan iming-iming “Ini novel bagus banget!!! Novel paling bagus yg pernah gw baca!”]. Membaca setengah novel, saya menggerutu sendiri. Setelah habis, saya MARAH-MARAH dengan suksesnya. OOHHH, TERNYATA NOVEL YG SEDANG BOOMING INI MENGAMBIL TEMA POLIGAMI??? Novel paling bagus yg pernah gw baca MY ASS.

Sedihnya, tema poligami yg kembali menyeruak di masyarakat ini dilihat dari sudut pandang lelaki saja! Dan masyarakat secara tidak langsung telah didoktrin bahwa poligami niscaya akan memberi kebahagiaan jika si perempuan ikhlas, karena semua itu akan berbuah manis: SURGA. Ya Tuhan, bisakah kita memaknai spiritualitas kita tanpa tergiur oleh surga? Kalau semua perempuan rela dipoligami dan dipinggirkan kepentingannya dengan alasan membela Tuhan [Tuhan sudah besar dan kuat, nggak usah dibela!], ini namanya KEMUNDURAN PERADABAN.

Lalu obrolan saya dengan teman saya yg menyangkut perempuan itu berlanjut dengan mengeluhnya dia tentang ‘umur perempuan yg pendek’. Di sini, umur produktif perempuan mentok pada umur 30-an. Perempuan dianggap muda jika berumur 20-an. Itupun jika sudah berumur 25 ke atas, kemudaannya diragukan karena umur segitu sudah seharusnya MENIKAH. Sementara lelaki yg berumur 30-40-an masih dianggap muda untuk meniti jenjang karir. Secara tidak langsung ini menunjukkan: perempuan tidak berhak untuk dibilang muda jika dia berada pada umur yg ‘layak menikah’. Ini ditambah dengan curhatan salah satu teman peserta workshop film berperspektif perempuan yg saya ikuti minggu lalu. Ketika ditanya apa masalah yg dia hadapi yg berhubungan dengan keperempuanannya? Dia menjawab, dia disuruh-suruh menikah oleh orang tuanya karena umurnya sekarang 26 [padahal itu masih sangat muda!], sedangkan dia masih ingin menggapai mimpi-mimpinya yang berserakan. Dia masih ingin meraih cita-cita dan impiannya. Dia masih ingin menjalani karir yg dia tekuni. Hal serupa dilontarkan beberapa teman yg berusia 25 ke atas. Semuanya mengalami problem serupa. Mereka disuruh menikah, padahal ada di antara mereka yg masih memperdalam studinya dengan mengambil S2 di salah satu universitas negeri di Jogjakarta. Semua itu berujung pada: kekhawatiran para orang tua jika anaknya melewati batas usia nikah, tidak laku dan menjadi perawan tua. Lho, memangnya salah kalau jadi perawan tua? Hehehe. Teman saya berkata, ini karena perempuan sejak kecil dibentuk agar memiliki visi: menikah dan punya anak. Jadi itulah TUJUAN HIDUP perempuan [yg diinginkan oleh masyarakat]. Apesnya, untuk perempuan yang tidak peduli dengan itu semua dan memilih menekuni apa yg dia sukai, jadi terkena tekanan itu juga! Semua orang memiliki cita-cita dan tujuan hidup yg berbeda, tapi masalahnya perempuan dituntut lebih karena dia seorang perempuan [yg diwajibkan menyangga peradaban dengan memproduksi anak!]! Jangan tanya apa tuntutan ini diberikan pada lelaki juga! Saya miris melihat kakak teman saya yg baru berusia 24 tahun dan sudah dituntut menikah. Padahal dia mengaku ingin bekerja dulu. Saya hanya bisa bilang, dia punya hak untuk melakukan apa yg dia inginkan. Dia punya hak untuk menolak. DIA PUNYA HAK UNTUK BAHAGIA.

Mengantisipasi hal ini, sudah dari jauh-jauh hari saya bilang pada ibu saya, saya tidak ingin menikah. Setidaknya di umur 20-an awal [berbeda dengan ibu saya yg menikah di usia 21]. Untungnya ibu saya tidak keberatan dengan hal ini. Secara personal ayah-ibu saya masih konservatif [mereka termasuk simpatisan partai konservatif yg jelas-jelas tidak akan saya coblos di pemilu], tapi mereka tidak ingin kerangka berpikir anak-anaknya jadi ikutan konvensional juga. Ayah dan ibu saya justru mendukung segala aktivitas saya, dan meng-encourage saya untuk tidak menikah di usia muda. Mereka juga tahu saya memang tidak berbakat untuk urusan pacaran dan tetek bengeknya, jadi kenapa saya tidak menjalani hidup yang saya sukai. Ibu saya juga adem ayem saja. Pada dasarnya dia tidak memaksa. Saya tidak tahu apa yg akan terjadi pada saya di masa depan, dan saya tidak ambil pusing soal itu [yang saya tahu saya akan jadi orang yg SUKSES, hahaha!]. Tapi menikah muda buat saya itu sama saja dengan MENYERAHKAN DIRI KE MULUT HARIMAU :P

UNTUK APA KITA BERANAK?

Mungkin pertanyaan ini hampir mirip dengan menanyakan kenapa cacing tanah beranak, ikan paus beranak atau monyet beranak? Intinya, kenapa semua makhluk hidup di muka bumi ini secara natural melakukan aktivitas reproduksi untuk menghasilkan individu baru dari jenisnya?

Karena kita semua, yang sedang hidup ini adalah makhluk yang transien, alias sementara. Suatu saat pasti mati juga. Dan oleh karenanya, sangat penting bagi tiap spesies untuk melestarikan jenisnya dengan beranak pinak sehingga gennya tetap conserved dalam suatu populasi. Pada hewan, aktivitas beranak pinak ini sifatnya instingtif. Bagi mereka, beranak dan mengurus anak (baca: memberi makan) bukan hanya untuk kesejahteraan si anak saja, namun secara tidak langsung dia telah melestarikan hidupnya sendiri (baca: pewarisan genetik). Pada manusia, yang masih berkerabat dekat dengan hewan mamalia (terutama primata), mewariskan setengah gennya pada anaknya bersifat instingtif pula. Tidak heran manusia pontang panting untuk menafkahi dan memberi makan anaknya. Empati manusia terhadap saudaranya sendiri juga lebih besar dibandingkan pada orang lain yang tidak berbagi gen. Jadi, beranak itu sangat natural, dan tidak ada yang boleh menolak fakta ini.

Hanya saja, kita ini bisa dibilang makhluk yang sangat kompleks. Kita ini makhluk dengan otak yang telah berkembang secara luar biasa dan memiliki serebral korteks (baca: otak kanan dan otak kiri) yang notabene paling advanced dibanding makhluk manapun. Ini menjadikan kita makhluk paling pintar di muka bumi, paling berkuasa dan sanggup membangun peradaban yang berumur ratusan bahkan ribuan tahun. Kita boleh saja 98% monyet, tapi 2% sisanya inilah yang menjadikan kita manusia adalah manusia, dan monyet adalah monyet. Alam bekerja dengan akurasi dan presisi yang luar biasa bukan?

Kecerdasan yang kita miliki (tidak hanya intelegensi, tapi juga emosi) inilah yang membuat kita tidak hanya memiliki empati tapi juga bisa menjadi tamak dan tidak pernah puas. Kecerdasan ini pula yang membuat kita jadi jago membentuk konstruksi sosial yang (niat mulianya sih) diharapkan dapat membuat kita lebih settle dan safe, tapi kadang malah merepotkan (dan dipaksa deal with it pula!). Kita ini kan gemar berpikir. Dan kegemaran berpikir ini akan mengantarkan kita pada pilihan-pilihan, termasuk pilihan untuk mengikuti atau mendobrak aturan yang sudah ada (itu juga kalau cukup bernyali). Beginilah manusia, unik memang.

Soal beranak ini pun, kita juga jadi punya pilihan, memutuskan punya anak atau tidak, dengan berbagai pertimbangan yang merujuk pada kecerdasan berpikir tadi (tentunya kita melulu menanyakan esensi, esensi dan esensi). Kalau mau beranak juga jalan yang mesti dilalui tidaklah pendek. Kita meski menikah dulu, ini yang merepotkan dan melibatkan banyak aspek, serta menguras tenaga dan seringnya bikin makan hati. Berikutnya harus mengurus segala tetek bengek lainnya. Kalau sudah, bikinlah anak. Kalau sudah jadi, kita urus lagi tetek bengek si anak dan menentukan identitasnya.
Kalau tidak sudi melakukan serentetan kegiatan di atas juga tidak apa-apa selama kamu siap dianggap melakukan modus patologi sosial (siapa kamu berani-beraninya bilang saya patogen???) dan kesulitan mengakses banyak hal, termasuk kegamangan si anak akan identitasnya. Tentu saja hal yang paling kita takuti adalah tidak memiliki identitas. Begini juga malah lebih merepotkan. Apalagi hidup di sini dimana orang-orang memiliki sikap judgmental yang kental.

Oleh karenanya, untuk manusia modern, meninggalkan “oleh-oleh” pada dunia ini BERUPA pewarisan setengah genetik kita kepada individu baru yang kita sebut ANAK, tidak lagi penting. Mungkin kenyamanan hidup, selera dan pilihan lebih penting. Oleh karenanya sah-sah saja untuk tidak beranak. Dengan populasi yang mencapai milyaran dan terserak di (hampir) seluruh sudut bumi (coba kalian cari belahan bumi mana yang tidak ditinggali manusia?) manusia bisa dibilang mustahil punah. Brengseknya, makhluk bernama manusia ini punya kemampuan adaptasi di atas rata-rata. Kita sanggup hidup di tempat yang bersuhu di bawah nol derajat, di gurun pasir, di atas air, di gua, di gunung, di hutan, di kota seolah semuanya itu adalah rumah kita. Egois memang. Kita bahkan sanggup hidup dengan udara yg kotor, air yg kotor, makanan beracun dan kita mentoleransi semuanya itu. LUAR BIASA. Tapi adaptasi sendiri merupakan salah satu mekanisme dari proses yang (barangkali kamu pernah dengar) disebut seleksi alam. Nah, seleksi alam ini bekerja (tentu saja) sangat selektif. Hanya makhluk dengan tingkat adaptasi terbaik yang sanggup bertahan dari berbagai deraan akan hidup dengan suksesnya. Sebut ini survival of the fittest. Dan seperti biasa, kebaikan dan ketangguhan ini akan diturunkan melalui apa yang sudah saya sebut-sebut di awal tadi: GEN. Oh, betapa molekul egois itu telah mengendarai kita, manusia, si mesin besar ini.

Maka, perkara beranak untuk saya tidak lagi tentang insting semata, tapi ada keperluan pilihan di sana. Kalau ditanya saya pengen punya anak atau tidak, ya saya pengen (nanti tapi, tidak sekarang). Punya perut yang membesar dan dada yang membengkak barangkali akan membuat saya terlihat sexy. Dan memiliki seorang manusia yang merupakan bagian dari kita (dalam arti sesungguhnya) untuk disusui, diasuh, diberi nama, diberi makan, diajari, dinafkahi, dicintai, dicium setiap hari tampaknya seru. Mungkin dia akan tumbuh besar, hidup dan mati seperti ibunya, menjadi makhluk malang yang tidak pernah benar-benar merasakan udara yang segar, air bersih, sayuran tanpa pestisida, makanan tanpa pengawet. Semua serba artifisial (dan saya curiga barangkali hazardous things itu tadi yang membikin kita morally hazard). Tapi saya tidak khawatir, gen kita lebih pintar daripada agen-agen beracun tadi.

Alah, tapi mungkin karena sekarang saya sedang sentimentil saja. Ujung-ujungnya saya ribet juga karena buat saya menikah itu tetap saja merepotkan (meskipun akan lebih ribet lagi kalau tidak menikah) tapi saya mau juga memberi souvenir (baca: ANAK). Masalahnya, saya tidak betah menghabiskan waktu dengan lelaki yang itu-itu saja. Saya ini tidak berbakat urusan nikah-menikah (kalo kawin-kawinan boleh deh). Nah, ini gara-gara pilihan itu tadi. Sumbernya dari mana? Si serebral korteks tadi.

Kalau begitu jangan salahkan saya.

Salahkan serebral korteks.
Salahkan alam.

*Untuk kalian yang masih berkeinginan untuk membelah diri di bumi yang sudah penuh sesak ini. Ingat, kita tidak sekecil amoeba!*