Luckily, minggu siang teman saya sms bahwa dia punya tiket gratis menonton sinema Prancis di BIP. Setelah sampai di sana, kita baru tahu kalau yang diputar adalah film Water Lilies! HELL YEAH, I’m the LUCKY bastard! [harap maklum, di tiketnya yang tercantum adalah judul aslinya dalam bahasa Prancis, dan tidak seorang pun dari kami yang ngerti bahasa Prancis!]. Memang saya ditakdirkan menonton film ini! [belakangan saya baru tahu dari teman kampus kalo film ini sudah ada dvdnya! Hahaha, yah setidaknya saya menonton gratis]. Nah, saya sendiri bingung kenapa judul internasionalnya Water Lilies, padahal menurut literatur, Naissance des pieuvres itu artinya: kelahiran octopus [tau octopus kan, itu loh, gurita ya namanya, cumi-cumi besar yg banyak tentakelnya, halah, kenapa cumi-cumi???]. Tapi mungkin dinamai Water Lilies karena film ini diramaikan oleh lukisan-lukisan karya Claude Monet [lah, memangnya dia bikin lukisan bunga lily?]. Aduh entahlah. Hahaha.
Saya menonton dengan ekspektasi yang tinggi karena membaca review di booklet V fest yang menyebutkan film ini pertama kali diputar di Un Certain Regard Festival Film Cannes 2007 [peduli amat], debut dari sutradara muda Celine Sciamma [27 tahun]. Mengangkat tema seksualitas gadis-gadis remaja yang berumur tanggung [yah, sekitar 15-17 tahun mungkin ya], saya selalu suka tema seksualitas [yang digarap dengan indah dan mendalam, tentu saja!].



Sepanjang film, saya tidak bisa berhenti mengagumi bagaimana Sciamma bisa men-direct film dengan semua bintang yang masih sangat remaja dimana bintang-bintang tersebut mampu berakting dengan sangat baik dan meyakinkan. Untuk ukuran debut, saya bisa bilang film ini: SPLENDID! Sciamma berhasil memotret kompleksitas dunia remaja dengan sangat jenial dan intens, tanpa kehilangan sensitivitasnya. Apalagi secara visual dan teknis: TOP NOTCH. Perhatikan deh adegan di dalam air, ahhh, saya berasa lagi menyelam di dalam air beneran! Emosi saya yang saya dapat dari dialog ketiga gadis tadi pun tidak dilemahkan sedikit pun oleh subtitle! Namun saya lebih salut lagi sama tukang castingnya yang kok ya bisa-bisanya menemukan cast remaja-remaja dengan akting yang juara. Para pemeran yang masih belasan ini juga termasuk berani, karena mereka harus melakukan banyak adegan dengan pakaian minim [pada beberapa adegan malah telanjang] so maybe some of us will find it uncomfortable!

Hal istimewa yang saya catat dari film ini saat saya menontonnya: SENSOR. Sensor manual yang dilakukan oleh pihak yang menayangkan film ini sangat merusak kenyamanan penonton [bayangkan lembaran plastik berwarna hijau yang agak transparan disorongkan begitu saja ke bagian-bagian tubuh atau adegan yang [menurut mereka] tidak layak ditonton]. Menurut penyelenggara, film ini memang film yang paling banyak disensor. Tapi itu sangat menyebalkan karena mengganggu flow dan membunuh mood penonton [makanya penonton rajin berteriak ‘huuu’ setiap dilakukan sensor!]. Dan sebenarnya penyensoran itu sama sekali tidak perlu. Dengan film yang berlatar dunia renang, wajar dong menampilkan adegan ganti baju di ruang ganti [namanya ganti baju ya telanjang, mau bagaimana lagi], atau mandi di shower sehabis renang. Sangat real. Dan nuditas itu tidak dimaksudkan untuk mengundang birahi. Adegan berciuman juga harus disensor segala? Berapa dari kita sih yang tidak berciuman saat remaja? Memang begitulah dunia remaja. Kita tidak bisa melepaskan seksualitas darinya, karena di saat kritis itulah masing-masing dari remaja tersebut belajar mengenali dirinya dan berkompromi pada hidup lewat banyak hal, salah satunya: seksualitas, yang notabene selalu ditabukan oleh orang dewasa [padahal kenyataannya orang dewasa lah yg lebih doyan syahwat!]. Lagipula menurut pengamatan saya, kebanyakan yang menonton malah bukan lagi remaja! Sensor yang salah sasaran dan mengganggu saja!
Selebihnya, saya cuma bisa bilang: tonton film ini! Tidak hanya elegan, film ini juga girl-centric [para tokoh pria jarang sekali nongol]. Biasanya, film dengan sudut pandang perempuan sangat sulit dimengerti oleh lelaki. Biasanya. Seperti film-film Sofia Coppola [The Virgin Suicides, Lost in Translation] atau Jane Champion [The Piano], dan seperti halnya Mbak Nan T. Achnas, sutradara film Pasir Berbisik yang berkomentar tentang filmnya, “Women get it, men don’t”. Well, maybe I got it and you don’t. But you SHOULD TRY guys! Kalian harus tetap menonton film ini, setidaknya untuk memeriksa apakah kita berbicara dengan bahasa yg sama atau tidak :) . Film ini sebenarnya tidak terlalu disarankan untuk pecinta film drama Oscar-ish yang so called intelligent [whatfuckever it means], apalagi penggemar film remaja Hollywood [yg penuh komedi slapstick dan dialog yg dangkal berattt], tapi mengajak kalian yang ingin kembali ke masa-masa bergejolak itu, mengingatkan kita pada saat remaja, di mana kedekatan antara dua orang gadis kadang tidak hanya fisikal dan mental, namun seksual juga. Bahwa saat remaja, orientasi seksual kita cenderung cair, karena rasa cinta itu bercampur dengan rasa sayang yang terbungkus pertemanan.
Dan tetap manis, tentu saja.
Mil,aq beruntung datang ke V Film Festival lebih awal & dpt undangan jd bisa nonton film ini! DAMN! DAHSYAT! entah kata apa yg tepat bwt film ini! surprise jg stlah tau ternyata film ini lahir dari tangan seorang filmmaker & dimainkan oleh aktor serta aktris yg masih "fresh" (pendatang baru)! yg jelas WATER LILIES keren abis lah!
BalasHapusIya yah ki, tadinya saya ngerasa gak akan nonton film ini, tapi ternyata dapet tiket di sinema prancis dong!!! seneng juga pas nonton. KEREN! Emang saya udah ditakdirkan buat nonton film ini. Heheheh.
BalasHapusDimana bisa beli dvdnya,
BalasHapusjadi pengen tau bagusnya film ini.
Bisa bantukan????
Wahh..aku telat nonoton nie film. baru akhir tahun 2013 nontonnya.
BalasHapustapi emang keren bgt ,, sampe jatuh cinta ma marie hahaah :D
Btw aq skg tinggal di bandung lho.. so ajak2 ya ke acara vfest ...
:)