Pagi ini [tepatnya siang ini] saya bangun dari tidur di kamar teman saya dan teman saya sedang menonton TV yang menayangkan infotainment [dan masih saya tonton juga]. Infotainment ini menceritakan perjalanan serombongan pemain sinetron yang ratingnya sangat tinggi dan telah mencapai ‘season’ 3. Rombongan ini berjalan-jalan ke Singapura. Mereka diberi bayaran yg besar, diajak berlibur di kapal mewah, jalan-jalan, dan masih dapat bonus tambahan pula di atas kapal [masing-masing rombongan dapat bonus] oleh si produser yang orang India itu. Apakah mereka sadar, jika si produser bisa memberi SEBANYAK ITU dan tidak jatuh miskin, maka uang yg didapatnya dari sinetron itu pasti SANGATLAH BANYAK. Dan mungkin saja semua yg dia berikan kepada para pemain sinetron itu belum mencapai SETENGAH [atau malah seperempat] dari pendapatannya karena penayangan sinetron itu. Dan si pemain sinetron, yg bermain sinetron dengan alasan mencari uang [dan publisitas], apakah mereka sadar, bermain sinetron tidak akan membuat mereka kaya. Si produser orang India itulah yg akan terus bertambah kaya dan para pemain itu sesungguhnya hanya kecipratan sedikit saja. NGAPAIN BIKIN ORANG KAYA TAMBAH KAYA?
Para pemain sinetron itu lalu menghabiskan waktu dengan berbelanja di jalanan Orchard Road. Tahukah mereka Singapura mendapat devisa milyaran per tahun karena ratusan ribu orang Indonesia yang berbondong-bondong dan berbelanja di sana? Padahal sepanjang pengamatan saya, semua yg ada di sana, juga ada di Indonesia! Mungkin karena orang kita mengejar prestise. Siapapun yg bisa bepergian ke luar tanah ini dan menghabiskan duit di tanah orang bakal mendapat label ‘kaya’. Padahal menurut saya, kerajinan asli Indonesia justru memiliki prestise lebih tinggi dan imejnya lebih ‘mahal’ [oleh karenanya sampai detik ini saya tidak punya batik asli juga, atau kain tapis, atau kerajinan perak Kotagede yg cantik-cantik itu, karena memang mahal!]. Sementara Singapura ya begitu-begitu saja, hanya berisi butik2 yang notabene juga ada di setiap mal besar di Jakarta! Dan barang2 murahnya, juga bisa kita dapatkan di Gedebage dengan model yg tidak jauh berbeda! Apa yg kita cari disana sebenarnya? Untungnya orang tua saya bukan termasuk yg Singapura-oriented ini. Kalau liburan, orang tua saya lebih senang mengajak anak-anaknya ke Jogjakarta, Malang, Palembang, Banjarmasin atau Maluku. LAGIAN SAYA NGGAK MAU BIKIN NEGARA ORANG TAMBAH KAYA. NGAPAIN?
Lalu, saya melihat mantan presiden kita BJ Habibie dan keluarga ternyata menyenangi sinetron ini! Memang setiap orang punya selera yg berbeda, tapi untuk orang sejenius dia, selera acara TVnya cukup mainstream. Padahal kalau saya amati, sinetron ini sama saja dengan sinetron lainnya di era 2000-an ke atas. Full of drama. Unrealistic. Konsep hitam-putih yg kental. Dikemas dalam bentuk yg cheesy pula. Ini hanya repetisi saja dari yg sudah-sudah. Tidak ada yg berbeda. Duh, pokoknya nggak keren sama sekali deh. Tapi ya memang beginilah kita. Kita merasa hanya perlu pintar di bidang yg kita tekuni saja, kita merasa TIDAK PERLU KRITIS di segala hal yg kita lihat, dengar, baca, amati. Saya sendiri kaget juga ketika salah satu teman saya yang [saya bisa bilang dia sangat jenius di bidang akademis] menyenangi teenlit? [asli ga nyangka booo!]. Sampai detik ini pun saya masih tercengang jika ada seorang intelektual yg ternyata gemar menonton sinetron. Saya sendiri bingung. APA SIH YG MAU SAYA HARAPKAN DARI MENONTON SINETRON?
Kesebalan saya berlanjut ketika mengingat presiden republik ini dan keluarganya waktu itu menonton premier film [kalau kalian masih ingat] Ayat-Ayat Cinta [saya sebut AAC saja]. Setelah menonton, si presiden berkata bahwa dia menyukai film itu. Dia memuji-muji setinggi langit seolah film itu tanpa cela dan berkata bahwa film itu telah digarap dengan baik untuk membawa pesan ‘cinta’ yang terbungkus oleh nilai-nilai religi. Dia menilai film seperti ini membawa aura yg positif untuk masyarakat. Tak heran segenap pemain [dan kru-nya mungkin, saya lupa] diundang ke istana [what for, anyway?]. Saya tidak masalah dengan itu semua. Saya hanya kecewa pada satu kenyataan: bahwa presiden republik ini tidak berniat mengkritisi film itu sama sekali, setidaknya dari muatan sosial yg diusung film itu: POLIGAMI. Padahal sebuah film mengandung unsur sosial yg lekat dengan masyarakat. Dan tema poligami dalam film AAC itu sangat bias dengan kepentingan dan legitimasi kekuasaan lelaki. Apa dia tidak terganggu dengan sosok Fahri yg sangat sempurna: tampan, pintar, rajin, saleh dan selalu menjaga kesucian dirinya? Saking sempurnanya dia sampai dikejar-kejar beberapa wanita dan salah satu di antaranya sampai memfitnah dia dan menunjukkan stigma ‘cewek nggak bener yg suka ngejer-ngejer cowok’? Dan wanita ini digambarkan sebagai sosok yg ‘mengancam kesucian Fahri’. Belum lagi masalah beristri dua. Fahri sudah jelas lelaki plin-plan yg mengaku cinta pada istrinya tapi ujung-ujungnya kawin juga dg wanita lain dg alasan cinta dan menyelamatkan hidup orang lain [di sini kelihatan konfliknya sangat ‘sinetron’ sekali]. Dan si istri pertama harus makan hati ketika Fahri berduaan dengan istri keduanya, dan masalah itu terselesaikan hanya dengan: si istri pertama IKHLAS dan RELA demi kebahagiaan orang lain. Ini makin mensahkan citra perempuan sebagai sosok yg altruistik dan rela mengorbankan dirinya demi kepentingan orang lain [terutama suami & keluarga], padahal dia juga manusia, bukan dewi, dia memiliki kebutuhan yg ingin dipenuhi juga toh? Dan ujung dari film ini adalah, agar si Fahri dan istri pertamanya happily ever after dan menjadi suatu kisah yg happy ending, maka tokoh istri kedua dimatikan saja. Simpel kan? Saya sendiri salah satu orang yg skeptis dengan boomingnya novel AAC. Saya sudah lihat banyak novelnya bertumpuk di toko buku dan TIDAK BERNIAT membelinya sama sekali. Membaca sinopsisnya saja saya sudah tidak tertarik, belum lagi covernya [wanita bercadar] dan nama pengarangnya yg kearab-araban [padahal asli jawa!]. Tapi melihat kepopulerannya yg luar biasa, saya gatal juga meminjam novel dari seorang teman [dengan iming-iming “Ini novel bagus banget!!! Novel paling bagus yg pernah gw baca!”]. Membaca setengah novel, saya menggerutu sendiri. Setelah habis, saya MARAH-MARAH dengan suksesnya. OOHHH, TERNYATA NOVEL YG SEDANG BOOMING INI MENGAMBIL TEMA POLIGAMI??? Novel paling bagus yg pernah gw baca MY ASS.
Sedihnya, tema poligami yg kembali menyeruak di masyarakat ini dilihat dari sudut pandang lelaki saja! Dan masyarakat secara tidak langsung telah didoktrin bahwa poligami niscaya akan memberi kebahagiaan jika si perempuan ikhlas, karena semua itu akan berbuah manis: SURGA. Ya Tuhan, bisakah kita memaknai spiritualitas kita tanpa tergiur oleh surga? Kalau semua perempuan rela dipoligami dan dipinggirkan kepentingannya dengan alasan membela Tuhan [Tuhan sudah besar dan kuat, nggak usah dibela!], ini namanya KEMUNDURAN PERADABAN.
Lalu obrolan saya dengan teman saya yg menyangkut perempuan itu berlanjut dengan mengeluhnya dia tentang ‘umur perempuan yg pendek’. Di sini, umur produktif perempuan mentok pada umur 30-an. Perempuan dianggap muda jika berumur 20-an. Itupun jika sudah berumur 25 ke atas, kemudaannya diragukan karena umur segitu sudah seharusnya MENIKAH. Sementara lelaki yg berumur 30-40-an masih dianggap muda untuk meniti jenjang karir. Secara tidak langsung ini menunjukkan: perempuan tidak berhak untuk dibilang muda jika dia berada pada umur yg ‘layak menikah’. Ini ditambah dengan curhatan salah satu teman peserta workshop film berperspektif perempuan yg saya ikuti minggu lalu. Ketika ditanya apa masalah yg dia hadapi yg berhubungan dengan keperempuanannya? Dia menjawab, dia disuruh-suruh menikah oleh orang tuanya karena umurnya sekarang 26 [padahal itu masih sangat muda!], sedangkan dia masih ingin menggapai mimpi-mimpinya yang berserakan. Dia masih ingin meraih cita-cita dan impiannya. Dia masih ingin menjalani karir yg dia tekuni. Hal serupa dilontarkan beberapa teman yg berusia 25 ke atas. Semuanya mengalami problem serupa. Mereka disuruh menikah, padahal ada di antara mereka yg masih memperdalam studinya dengan mengambil S2 di salah satu universitas negeri di Jogjakarta. Semua itu berujung pada: kekhawatiran para orang tua jika anaknya melewati batas usia nikah, tidak laku dan menjadi perawan tua. Lho, memangnya salah kalau jadi perawan tua? Hehehe. Teman saya berkata, ini karena perempuan sejak kecil dibentuk agar memiliki visi: menikah dan punya anak. Jadi itulah TUJUAN HIDUP perempuan [yg diinginkan oleh masyarakat]. Apesnya, untuk perempuan yang tidak peduli dengan itu semua dan memilih menekuni apa yg dia sukai, jadi terkena tekanan itu juga! Semua orang memiliki cita-cita dan tujuan hidup yg berbeda, tapi masalahnya perempuan dituntut lebih karena dia seorang perempuan [yg diwajibkan menyangga peradaban dengan memproduksi anak!]! Jangan tanya apa tuntutan ini diberikan pada lelaki juga! Saya miris melihat kakak teman saya yg baru berusia 24 tahun dan sudah dituntut menikah. Padahal dia mengaku ingin bekerja dulu. Saya hanya bisa bilang, dia punya hak untuk melakukan apa yg dia inginkan. Dia punya hak untuk menolak. DIA PUNYA HAK UNTUK BAHAGIA.
Mengantisipasi hal ini, sudah dari jauh-jauh hari saya bilang pada ibu saya, saya tidak ingin menikah. Setidaknya di umur 20-an awal [berbeda dengan ibu saya yg menikah di usia 21]. Untungnya ibu saya tidak keberatan dengan hal ini. Secara personal ayah-ibu saya masih konservatif [mereka termasuk simpatisan partai konservatif yg jelas-jelas tidak akan saya coblos di pemilu], tapi mereka tidak ingin kerangka berpikir anak-anaknya jadi ikutan konvensional juga. Ayah dan ibu saya justru mendukung segala aktivitas saya, dan meng-encourage saya untuk tidak menikah di usia muda. Mereka juga tahu saya memang tidak berbakat untuk urusan pacaran dan tetek bengeknya, jadi kenapa saya tidak menjalani hidup yang saya sukai. Ibu saya juga adem ayem saja. Pada dasarnya dia tidak memaksa. Saya tidak tahu apa yg akan terjadi pada saya di masa depan, dan saya tidak ambil pusing soal itu [yang saya tahu saya akan jadi orang yg SUKSES, hahaha!]. Tapi menikah muda buat saya itu sama saja dengan MENYERAHKAN DIRI KE MULUT HARIMAU :P
Para pemain sinetron itu lalu menghabiskan waktu dengan berbelanja di jalanan Orchard Road. Tahukah mereka Singapura mendapat devisa milyaran per tahun karena ratusan ribu orang Indonesia yang berbondong-bondong dan berbelanja di sana? Padahal sepanjang pengamatan saya, semua yg ada di sana, juga ada di Indonesia! Mungkin karena orang kita mengejar prestise. Siapapun yg bisa bepergian ke luar tanah ini dan menghabiskan duit di tanah orang bakal mendapat label ‘kaya’. Padahal menurut saya, kerajinan asli Indonesia justru memiliki prestise lebih tinggi dan imejnya lebih ‘mahal’ [oleh karenanya sampai detik ini saya tidak punya batik asli juga, atau kain tapis, atau kerajinan perak Kotagede yg cantik-cantik itu, karena memang mahal!]. Sementara Singapura ya begitu-begitu saja, hanya berisi butik2 yang notabene juga ada di setiap mal besar di Jakarta! Dan barang2 murahnya, juga bisa kita dapatkan di Gedebage dengan model yg tidak jauh berbeda! Apa yg kita cari disana sebenarnya? Untungnya orang tua saya bukan termasuk yg Singapura-oriented ini. Kalau liburan, orang tua saya lebih senang mengajak anak-anaknya ke Jogjakarta, Malang, Palembang, Banjarmasin atau Maluku. LAGIAN SAYA NGGAK MAU BIKIN NEGARA ORANG TAMBAH KAYA. NGAPAIN?
Lalu, saya melihat mantan presiden kita BJ Habibie dan keluarga ternyata menyenangi sinetron ini! Memang setiap orang punya selera yg berbeda, tapi untuk orang sejenius dia, selera acara TVnya cukup mainstream. Padahal kalau saya amati, sinetron ini sama saja dengan sinetron lainnya di era 2000-an ke atas. Full of drama. Unrealistic. Konsep hitam-putih yg kental. Dikemas dalam bentuk yg cheesy pula. Ini hanya repetisi saja dari yg sudah-sudah. Tidak ada yg berbeda. Duh, pokoknya nggak keren sama sekali deh. Tapi ya memang beginilah kita. Kita merasa hanya perlu pintar di bidang yg kita tekuni saja, kita merasa TIDAK PERLU KRITIS di segala hal yg kita lihat, dengar, baca, amati. Saya sendiri kaget juga ketika salah satu teman saya yang [saya bisa bilang dia sangat jenius di bidang akademis] menyenangi teenlit? [asli ga nyangka booo!]. Sampai detik ini pun saya masih tercengang jika ada seorang intelektual yg ternyata gemar menonton sinetron. Saya sendiri bingung. APA SIH YG MAU SAYA HARAPKAN DARI MENONTON SINETRON?
Kesebalan saya berlanjut ketika mengingat presiden republik ini dan keluarganya waktu itu menonton premier film [kalau kalian masih ingat] Ayat-Ayat Cinta [saya sebut AAC saja]. Setelah menonton, si presiden berkata bahwa dia menyukai film itu. Dia memuji-muji setinggi langit seolah film itu tanpa cela dan berkata bahwa film itu telah digarap dengan baik untuk membawa pesan ‘cinta’ yang terbungkus oleh nilai-nilai religi. Dia menilai film seperti ini membawa aura yg positif untuk masyarakat. Tak heran segenap pemain [dan kru-nya mungkin, saya lupa] diundang ke istana [what for, anyway?]. Saya tidak masalah dengan itu semua. Saya hanya kecewa pada satu kenyataan: bahwa presiden republik ini tidak berniat mengkritisi film itu sama sekali, setidaknya dari muatan sosial yg diusung film itu: POLIGAMI. Padahal sebuah film mengandung unsur sosial yg lekat dengan masyarakat. Dan tema poligami dalam film AAC itu sangat bias dengan kepentingan dan legitimasi kekuasaan lelaki. Apa dia tidak terganggu dengan sosok Fahri yg sangat sempurna: tampan, pintar, rajin, saleh dan selalu menjaga kesucian dirinya? Saking sempurnanya dia sampai dikejar-kejar beberapa wanita dan salah satu di antaranya sampai memfitnah dia dan menunjukkan stigma ‘cewek nggak bener yg suka ngejer-ngejer cowok’? Dan wanita ini digambarkan sebagai sosok yg ‘mengancam kesucian Fahri’. Belum lagi masalah beristri dua. Fahri sudah jelas lelaki plin-plan yg mengaku cinta pada istrinya tapi ujung-ujungnya kawin juga dg wanita lain dg alasan cinta dan menyelamatkan hidup orang lain [di sini kelihatan konfliknya sangat ‘sinetron’ sekali]. Dan si istri pertama harus makan hati ketika Fahri berduaan dengan istri keduanya, dan masalah itu terselesaikan hanya dengan: si istri pertama IKHLAS dan RELA demi kebahagiaan orang lain. Ini makin mensahkan citra perempuan sebagai sosok yg altruistik dan rela mengorbankan dirinya demi kepentingan orang lain [terutama suami & keluarga], padahal dia juga manusia, bukan dewi, dia memiliki kebutuhan yg ingin dipenuhi juga toh? Dan ujung dari film ini adalah, agar si Fahri dan istri pertamanya happily ever after dan menjadi suatu kisah yg happy ending, maka tokoh istri kedua dimatikan saja. Simpel kan? Saya sendiri salah satu orang yg skeptis dengan boomingnya novel AAC. Saya sudah lihat banyak novelnya bertumpuk di toko buku dan TIDAK BERNIAT membelinya sama sekali. Membaca sinopsisnya saja saya sudah tidak tertarik, belum lagi covernya [wanita bercadar] dan nama pengarangnya yg kearab-araban [padahal asli jawa!]. Tapi melihat kepopulerannya yg luar biasa, saya gatal juga meminjam novel dari seorang teman [dengan iming-iming “Ini novel bagus banget!!! Novel paling bagus yg pernah gw baca!”]. Membaca setengah novel, saya menggerutu sendiri. Setelah habis, saya MARAH-MARAH dengan suksesnya. OOHHH, TERNYATA NOVEL YG SEDANG BOOMING INI MENGAMBIL TEMA POLIGAMI??? Novel paling bagus yg pernah gw baca MY ASS.
Sedihnya, tema poligami yg kembali menyeruak di masyarakat ini dilihat dari sudut pandang lelaki saja! Dan masyarakat secara tidak langsung telah didoktrin bahwa poligami niscaya akan memberi kebahagiaan jika si perempuan ikhlas, karena semua itu akan berbuah manis: SURGA. Ya Tuhan, bisakah kita memaknai spiritualitas kita tanpa tergiur oleh surga? Kalau semua perempuan rela dipoligami dan dipinggirkan kepentingannya dengan alasan membela Tuhan [Tuhan sudah besar dan kuat, nggak usah dibela!], ini namanya KEMUNDURAN PERADABAN.
Lalu obrolan saya dengan teman saya yg menyangkut perempuan itu berlanjut dengan mengeluhnya dia tentang ‘umur perempuan yg pendek’. Di sini, umur produktif perempuan mentok pada umur 30-an. Perempuan dianggap muda jika berumur 20-an. Itupun jika sudah berumur 25 ke atas, kemudaannya diragukan karena umur segitu sudah seharusnya MENIKAH. Sementara lelaki yg berumur 30-40-an masih dianggap muda untuk meniti jenjang karir. Secara tidak langsung ini menunjukkan: perempuan tidak berhak untuk dibilang muda jika dia berada pada umur yg ‘layak menikah’. Ini ditambah dengan curhatan salah satu teman peserta workshop film berperspektif perempuan yg saya ikuti minggu lalu. Ketika ditanya apa masalah yg dia hadapi yg berhubungan dengan keperempuanannya? Dia menjawab, dia disuruh-suruh menikah oleh orang tuanya karena umurnya sekarang 26 [padahal itu masih sangat muda!], sedangkan dia masih ingin menggapai mimpi-mimpinya yang berserakan. Dia masih ingin meraih cita-cita dan impiannya. Dia masih ingin menjalani karir yg dia tekuni. Hal serupa dilontarkan beberapa teman yg berusia 25 ke atas. Semuanya mengalami problem serupa. Mereka disuruh menikah, padahal ada di antara mereka yg masih memperdalam studinya dengan mengambil S2 di salah satu universitas negeri di Jogjakarta. Semua itu berujung pada: kekhawatiran para orang tua jika anaknya melewati batas usia nikah, tidak laku dan menjadi perawan tua. Lho, memangnya salah kalau jadi perawan tua? Hehehe. Teman saya berkata, ini karena perempuan sejak kecil dibentuk agar memiliki visi: menikah dan punya anak. Jadi itulah TUJUAN HIDUP perempuan [yg diinginkan oleh masyarakat]. Apesnya, untuk perempuan yang tidak peduli dengan itu semua dan memilih menekuni apa yg dia sukai, jadi terkena tekanan itu juga! Semua orang memiliki cita-cita dan tujuan hidup yg berbeda, tapi masalahnya perempuan dituntut lebih karena dia seorang perempuan [yg diwajibkan menyangga peradaban dengan memproduksi anak!]! Jangan tanya apa tuntutan ini diberikan pada lelaki juga! Saya miris melihat kakak teman saya yg baru berusia 24 tahun dan sudah dituntut menikah. Padahal dia mengaku ingin bekerja dulu. Saya hanya bisa bilang, dia punya hak untuk melakukan apa yg dia inginkan. Dia punya hak untuk menolak. DIA PUNYA HAK UNTUK BAHAGIA.
Mengantisipasi hal ini, sudah dari jauh-jauh hari saya bilang pada ibu saya, saya tidak ingin menikah. Setidaknya di umur 20-an awal [berbeda dengan ibu saya yg menikah di usia 21]. Untungnya ibu saya tidak keberatan dengan hal ini. Secara personal ayah-ibu saya masih konservatif [mereka termasuk simpatisan partai konservatif yg jelas-jelas tidak akan saya coblos di pemilu], tapi mereka tidak ingin kerangka berpikir anak-anaknya jadi ikutan konvensional juga. Ayah dan ibu saya justru mendukung segala aktivitas saya, dan meng-encourage saya untuk tidak menikah di usia muda. Mereka juga tahu saya memang tidak berbakat untuk urusan pacaran dan tetek bengeknya, jadi kenapa saya tidak menjalani hidup yang saya sukai. Ibu saya juga adem ayem saja. Pada dasarnya dia tidak memaksa. Saya tidak tahu apa yg akan terjadi pada saya di masa depan, dan saya tidak ambil pusing soal itu [yang saya tahu saya akan jadi orang yg SUKSES, hahaha!]. Tapi menikah muda buat saya itu sama saja dengan MENYERAHKAN DIRI KE MULUT HARIMAU :P
Wynn Slots for Android and iOS - Wooricasinos
BalasHapusA free 1등 사이트 app for wooricasinos.info slot machines from WRI Holdings Limited that lets you play the popular games, such 출장안마 as free video slots, table 1xbet login games and live 바카라 사이트 casino