Tadi pagi, saya sudah ke Bumi Medika Ganesha (BMG). Sudah saya ceritakan kan sebelumnya [postingan “LOBANG”] kalau BMG ini adalah fasilitas kesehatan di kampus saya si gajah ngantuk yg super murah. Barangkali cuma BMG ini satu-satunya alasan yg berhasil bikin saya tetap cinta sama kampus saya, setelah yg lainnya terasa SUXXX, terutama kurikulum pendidikan yg hampir selalu ganti tiap tahun, standar penilaian yg amit2 tingginya, tuntutan IPK yang nggak manusiawi dan batas waktu studi yg maksimal 6 tahun, semuanya benar2 nggak cocok sama manusia berotak pas-pasan dan bergaya hidup berantakan kayak saya! Tolong ya, saya manusia, bukan dewa!
Oke, kembali ke BMG. Yg saya cintai dari BMG: murah [seperti saya mencintai hal-hal murah lainnya].
Saya curiga BMG ini memang menerapkan konsep socialized medicine [dulu banget di USA pernah coba dilakukan Hillary Clinton, tapi dihadang gila-gilaan sama bos-bos maruk harta macam pemilik asuransi kesehatan ituuh, coba tonton film dokumenter Michael Moore “SICKO”]. Yah, konsep ini diterapkan di Canada, Inggris bahkan Kuba. Makanya kalo lagi di sana terus sakit, nggak usah pusing, murah sih. Kenapa murah, yah biaya kesehatannya diambil dari pajak juga lah. Jadi intinya, kita membayar untuk bersama. Jadi kalo ada orang lain yg sakit dan dibayari pemerintah, ada andil kita juga di situ. Begitu pula ketika kita sakit dan dibayari pemerintah, ada andil orang lain juga di situ. Manis sekali bukan. Seperti halnya tagline film The Big White [yg dibintangi Robin Williams, coba tonton!]: if you need help, anybody will do.
Dengan konsep pengobatan murah begini, tenang saja sayang, ketika kamu sakit, akan ada orang lain yg membayari ;)
Nah, kenapa BMG murah? Entahlah, barangkali dia menggunakan uang sumbangan dari teman2 saya yg kaya-kaya itu. Atau barangkali iuran dari ikatan alumni. Entah. Tapi menurut saya, pengobatan tersosialisasi begini penting [nggak usah mikir kejauhan soal sosialisme apalagi komunisme deh, nggak ada hubungannya kok]. Jadi nggak egois. Kesehatan adalah milik bersama. Ya toh? Sejauh yg saya lihat sih, teman saya yg berdomisili di Bandung dan berasal dari keluarga menengah [ke atas] jarang yg menggunakan fasilitas BMG ini. Barangkali mereka sudah punya dokter langganan sendiri. Atau mungkin mereka tidak percaya sama yg murah2 [inget, harga nggak pernah bohong! :P]. Ya iyalah, ngapain pake yg generik kalo ada duit lebih? Bisa dimengerti. Tapi untuk saya dan anak perantauan lainnya, yg jauh dari rumah, tidak punya sanak saudara dan berbekal uang seadanya, fasilitas BMG ini sangat membantu di saat kita sedang teler gara2 sakit [dan bokek juga]. BMG merupakan salah satu dewa penolong yg dibuatkan Tuhan untuk kita-kita ini, dengan duit yg berasal dari mereka-mereka yg punya banyak. Saya percaya, yg punya banyak sudah sepantasnya berpihak pada yg tidak berpunya banyak.
Maka, saya mendaftar di loket pagi tadi dan disuruh bayar 5 RIBU RUPIAH SAJA.
Setelah itu saya mengantri sebentar di dokter umum. Tidak sampai 15 menit, nama saya sudah dipanggil. Saya masuk, konsultasi dg dokter sebentar [dan tampaknya dia sudah langsung paham dg apa yg saya alami], lalu saya disuruh berbaring, perut saya ditekan2 dan tensi darah saya dicek. Berikutnya saya keluar dan menunggu di apotik selama 10 menit. Saya diberi 2 macam obat yg harus diminum 3 kali sehari dan 1 tube salep yg harus dioleskan pada bagian yg sakit [anus saya, maksudnya]. Semua obat itu seharga 129 ribu. Tapi saya tidak perlu membayarnya. Saya cukup menuliskan saja harganya di form yg harus diisi.
Tapi, sampai detik ini salep yg diberikan belum saya pakai juga, setelah membaca keterangan efek sampingnya: “rasa seperti terbakar”. Hiiiii. Saya tidak cukup bernyali!
Oke, kembali ke BMG. Yg saya cintai dari BMG: murah [seperti saya mencintai hal-hal murah lainnya].
Saya curiga BMG ini memang menerapkan konsep socialized medicine [dulu banget di USA pernah coba dilakukan Hillary Clinton, tapi dihadang gila-gilaan sama bos-bos maruk harta macam pemilik asuransi kesehatan ituuh, coba tonton film dokumenter Michael Moore “SICKO”]. Yah, konsep ini diterapkan di Canada, Inggris bahkan Kuba. Makanya kalo lagi di sana terus sakit, nggak usah pusing, murah sih. Kenapa murah, yah biaya kesehatannya diambil dari pajak juga lah. Jadi intinya, kita membayar untuk bersama. Jadi kalo ada orang lain yg sakit dan dibayari pemerintah, ada andil kita juga di situ. Begitu pula ketika kita sakit dan dibayari pemerintah, ada andil orang lain juga di situ. Manis sekali bukan. Seperti halnya tagline film The Big White [yg dibintangi Robin Williams, coba tonton!]: if you need help, anybody will do.
Dengan konsep pengobatan murah begini, tenang saja sayang, ketika kamu sakit, akan ada orang lain yg membayari ;)
Nah, kenapa BMG murah? Entahlah, barangkali dia menggunakan uang sumbangan dari teman2 saya yg kaya-kaya itu. Atau barangkali iuran dari ikatan alumni. Entah. Tapi menurut saya, pengobatan tersosialisasi begini penting [nggak usah mikir kejauhan soal sosialisme apalagi komunisme deh, nggak ada hubungannya kok]. Jadi nggak egois. Kesehatan adalah milik bersama. Ya toh? Sejauh yg saya lihat sih, teman saya yg berdomisili di Bandung dan berasal dari keluarga menengah [ke atas] jarang yg menggunakan fasilitas BMG ini. Barangkali mereka sudah punya dokter langganan sendiri. Atau mungkin mereka tidak percaya sama yg murah2 [inget, harga nggak pernah bohong! :P]. Ya iyalah, ngapain pake yg generik kalo ada duit lebih? Bisa dimengerti. Tapi untuk saya dan anak perantauan lainnya, yg jauh dari rumah, tidak punya sanak saudara dan berbekal uang seadanya, fasilitas BMG ini sangat membantu di saat kita sedang teler gara2 sakit [dan bokek juga]. BMG merupakan salah satu dewa penolong yg dibuatkan Tuhan untuk kita-kita ini, dengan duit yg berasal dari mereka-mereka yg punya banyak. Saya percaya, yg punya banyak sudah sepantasnya berpihak pada yg tidak berpunya banyak.
Maka, saya mendaftar di loket pagi tadi dan disuruh bayar 5 RIBU RUPIAH SAJA.
Setelah itu saya mengantri sebentar di dokter umum. Tidak sampai 15 menit, nama saya sudah dipanggil. Saya masuk, konsultasi dg dokter sebentar [dan tampaknya dia sudah langsung paham dg apa yg saya alami], lalu saya disuruh berbaring, perut saya ditekan2 dan tensi darah saya dicek. Berikutnya saya keluar dan menunggu di apotik selama 10 menit. Saya diberi 2 macam obat yg harus diminum 3 kali sehari dan 1 tube salep yg harus dioleskan pada bagian yg sakit [anus saya, maksudnya]. Semua obat itu seharga 129 ribu. Tapi saya tidak perlu membayarnya. Saya cukup menuliskan saja harganya di form yg harus diisi.
Tapi, sampai detik ini salep yg diberikan belum saya pakai juga, setelah membaca keterangan efek sampingnya: “rasa seperti terbakar”. Hiiiii. Saya tidak cukup bernyali!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar